Ratna Megawangi, Pelopor Pendidikan Holistik Berbasis Karakter
Ratna Megawangi, Pelopor Pendidikan Holistik Berbasis Karakter
Melangit di langitperempuan pada 19 Februari 2008
Ratna Megawangi, Ir. M.Sc, Ph.D. adalah seorang perempuan cerdas dan berkarakter kuat. Muslimah bergelar doktor dan post doctoral ini adalah pelopor pendidikan holistik berbasis karakter di Indonesia.
Pendiri dan Direktur Eksekutif Indonesia Heritage Foundation, yang mengelola hampir 100 sekolah karakter di berbagai penjuru tanah air, ini juga seorang penulis terkemuka. Buku dan artikel dosen dan lulusan terbaik IPB (1982) ini sering menjadi perdebatan hangat dan best seller.
Lewat Yayasan Warisan Luhur Indonesia (Indonesia Heritage Foundation) yang dirikan tahun 2001, Ratna Megawangi dan suaminya Dr. Sofyan A. Djalil, SH, MA, MALD (Menteri Negara Komunikasi dan Informasi) bersama teman-temannya menuangkan sebuah idealisme, mimpi dan harapan besar bahwa suatu saat Bangsa Indonesia akan berjaya sebagai bangsa yang berkarakter kuat.
Akan tiba saatnya bangsa ini menuai buah dari benih-benih bangsa, yang sejak 2001sudah mulai disemai di mana-mana, melalui pendidikan holistik berbasis karakter yang digerakkan Yayasan Warisan Luhur Indonesia. Yakni benih-benih bangsa yang berkarakter kuat, benih-benih bangsa yang mempunyai akhlak mulia yang universal sesuai warisan nilai-nilai luhur Indonesia.
Pendidikan holistik berbasis karakter ditanamkan sejak usia prasekolah kepada anak-anak dari beragam latarbelakang. TK Karakter dan Semai Benih Bangsa yang dikelola kini berjumlah hampir 100 sekolah dan tersebar di berbagai penjuru tanah air, serta akan terus berkembang secara tak terbatas di kemudian hari. TK Karakter dan Semai Benih Bangsa diplot mampu menembus batas sekat perbedaan agama, suku, golongan, status sosial, kaya atau miskin, semua anak berkesempatan memperoleh pendidikan karakter yang didirikan dan dikelolanya.
Membiarkan Berbeda
Jauh sebelum suaminya, Sofyan A. Djalil, menjadi Menteri Negara Komunikasi dan Informasi Kabinet Indonesia Bersatu, nama Ratna Megawangi, Ph.D, kelahiran Jakarta 24 Agustus 1958, sudah menjadi wacana perdebatan dan polemik hangat di media massa nasional. Ratna, penulis buku berjudul “Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender” tahun 1999, ini sudah produktif menulis buku dan artikel di sejumlah media massa sejak tahun 1994.
Ia aktif membuka wacana tentang anak, keluarga, dan perempuan. Kehadiran Ratna dianggap banyak pihak selalu bernada antagonistis terutama oleh pengusung gerakan feminisme bahkan against the stream bagi mainstream yang sedang berkembang.
Buku “Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender” selain bernada antitesa, juga against the stream bagi mainstream gerakan feminisme yang sedang gencar memperjuangkan kesetaraan gender.
Ratna di situ menyadarkan para pihak bahwa sesungguhnya antara laki-laki dengan perempuan tidaklah bisa dipersama-ratakan. Secara kodrati, genetika, psikis, dan fisik keduanya berbeda. Karenanya perbedaan itu haruslah dipelihara menjadi sebuah perbedaan yang harmoni. Perbedaan yang bisa diperlihatkan dalam pembawaan peran masing-masing yang saling melengkapi. Ratna dalam bukunya menawarkan sudut pandang baru tentang relasi gender.
Buku yang mulai ditulis tahun 1997 dan selesai persis seminggu setelah Tragedi Nasional 14 Mei 1998, kemudian diterbitkan tahun 1999 oleh Penerbit Mizan, Bandung, itu memuat berbagai postulat dasar, idiologi, paradigma, dan contoh-contoh tentang kegagalan ide kesamarataan lelaki-perempuan di berbagai negara terutama di negara komunis, berikut beragam pemikiran lain yang memberikan Ratna kesimpulan akhir bahwa lelaki dan perempuan adalah berbeda.
Berbeda sehingga tidak bisa disetarakan secara kuantitatif fifty-fifty. Di Singapura, Korea, atau Jepang, demikian pula di negara-negara maju keterwakilan perempuan di lembaga parlemen sekitar 10% saja. Di Indonesia diperjuangkan jauh lebih liberal harus 30% perempuan di DPR, walau yang bisa dicapai masih belasan persen. Ratna menawarkan sudut pandang baru tentang relasi gender.
Pasca kejatuhan rejim Orde Baru, Ratna Megawangi merasa lega sebab ajaran Karl Marx yang ada dalam bukunya, sesuatu yang bisa dicap sebagai tindakan makar dan merongrong ideologi Pancasila pada masa sebelum itu, menjadi lolos sensor alias terbit tanpa harus melalui sensor. Ratna sadar berdasarkan pengalamannya sebagai dosen ilmu filsafat untuk mahasiswa S-2 di IPB Bogor, ide-ide Karl Marx yang ditulisnya bisa membuat seseorang menjadi Marxis sejati, atau di sisi lain malah menjadi sangat konservatif.
Sudut pandang baru tentang relasi gender yang ditawarkan Ratna melawan arus besar justru pada saat kesetaraan sedang digaungkan oleh para penggagas gerakan feminisme. Seketika hadir buku itu segera menjadi bahan polemik berkepanjangan di media massa. Bahkan tak kurang 14 kali Ratna harus hadir langsung di acara bedah buku di beragam komunitas. Tak heran jika buku itu menjadi buku laris atau best seller yang mengalami cetak ulang hingga tiga kali, bahkan bersiap-siap untuk dicetak keempat kalinya.
Selain best seller buku yang penulisannya diinspirasikan oleh buku “The Tao of Islam” karangan Sachico Murata dari Jepang, di mana Ratna menjadi editor edisi terjemahan bahasa Indonesia berjudul sama “The Tao of Islam” diterbitkan oleh Mizan, Bandung tahun 1996, itu menjadi bahan bahan tesis seorang mahasiswi asing asal Sydney, Australia yang pernah bermukim dan magang di UGM Yogyakarta.
Mahasiswi asing yang pandai berbahasa Indonesia itu berhasil mendapatkan buku karangan Ratna Megawangi, lalu membuat tesis khusus tentang buku dengan judul “A Textual Analisys of Membiarkan Berbeda”. Mahasiswi perguruan tinggi The Australian National University itu berpendapat, buku “Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender” adalah satu-satunya buku yang pernah ia baca yang memberikan solusi terhadap relasi gender yang lebih harmonis.
“Karena memang, di buku itu bab terakhir saya tawarkan solusinya, tak sekadar antagonisme. Tapi, solusinya bagaimana keharmonisan dalam keluarga bisa dibentuk melalui keharmonisan relasi jender,” kata Ratna Megawangi, di rumahnya yang asri kawasan Harjamukti, Cimanggis, Depok.
Sebelum menulis buku “Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender”, Ratna sudah sejak lama berani membuka wacana dan polemik tentang masalah anak, keluarga, dan terutama perempuan atau masalah feminisme di harian Kompas, semenjak tahun 1994 atau persis sepulang dari studi S-3 di Amerika Serikat tahun 1993.
Dalam catatan pribadinya Ratna menyebutkan sudah pernah menulis lebih dari 30 artikel yang dipublikasi Kompas, berisi visinya tentang perempuan. Ratna datang sebagai antagonisme baru yang berani berbeda terhadap pandangan para kaum gerakan feminisme.
Kaum feminis tentu saja menjadi marah oleh kahadiran Ratna. Sebab baru pada tahun 1992 muncul mainstream baru gerakan feminisme. Pada gerakan itu para feminis bergerak luar biasa menuntut kebebasan perempuan, emansipasi, dan segala macam memperjuangkan kesamaan hak-hak perempuan dengan lelaki.
Istri Menteri
Tak ada perubahan yang berarti dalam diri Ratna Megawangi setelah suaminya Dr. Sofyan A. Djalil, SH, MA, MALD “Mutiara Bangsa dari Aceh” dipercaya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Menteri Negara Komunikasi dan Informasi (Kominfo) Kabinet Indonesia Bersatu.
Embel-embel sebagai istri seorang menteri tak akan mengurangi mimpi dan idealisme besar Ratna membangun bangsa lewat pendidikan holistik berbasis karakter kepada anak-anak sejak usia dini prasekolah, buah terbesar yang diperolehnya selama studi S-2, S-3, dan post doctoral di Tufts University, Medford, AS.
Suami Ratna, Sofyan Djalil sehari-hari adalah profesional murni yang bergerak di bidang konsultan spesialis implementasi good corporate governance dan good corporate communication. Setelah diangkat menjadi menteri, ke lingkungan elit nasional dan pemerintahan, Sofyan diharapkan bisa menyelipkan pelan-pelan pesan moral perlunya semua pihak membangun karakter anak secara holistik ke dunia pendidikan sejak dini usia prasekolah.
Pendidikan holistik berbasis karakter saat ini diakui Ratna Megawangi, pemakai kacamata minus yang saban hari mengenakan busana muslimah, masihlah ide kecil. Namun ide kecil ini secara perlahan tapi pasti akan tumbuh menjadi besar yang bahkan mampu mengubahkan paradigma bangsa menjadi bangsa yang berkarakter kuat.
Ide kecil pendidikan holistik berbasis karakter dianggap Ratna sebuah kepakan sayap kupu-kupu kecil dari sebuah rumah sederhana di Cimanggis namun mampu menjadi angin tornado besar dan gerak turbulensi baru yang menggentarkan kalbu di mana-mana.
Lulusan Terbaik IPB
Ratna Megawangi adalah ibu dari tiga orang anak yakni Muhammad Rumi lahir tahun 1985, Safitri Mutia lahir di Amerika Serikat tahun 1990, dan Muhammad Lutfi lahir tahun 1998. Ratna sesungguhnya adalah pakar dan dosen ilmu Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga (GMSK), di Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor.
Di tahun 1978, otaknya yang cerdas telah menuntunnya untuk memilih kuliah di IPB, ditambah dorongan dari ayahnya Drs Harmonie Jaffar, seorang profesional yang bekerja di sebuah perusahaan farmasi swasta asing. Ketika itu, dari ayahnya Ratna mengetahui Kampus IPB Bogor mempunyai program bagus berupa kesempatan mengikuti tes ujian akhir menyelesaikan kuliah dalam waktu singkat empat tahun.
Tiada motivasi lain kecuali menyelesaikan kuliah sesegera mungkin tanpa mempedulikan jurusan apa yang dirasa terbaik dan di mana hendak berkiprah. Sebab Ratna belumlah menemukan apa bakat dan kesenangannya yang permanen. Berdasarkan test psikologi atau psikotes yang pernah dijalani diperoleh hasil di semua bidang Ratna mencatat nilai rata-rata yang sama bagus.
Direkomendasikan pula, Ratna cocok dan berkesempatan memilih disiplin ilmu serta bekerja di bidang apa saja. Nah, khusus perihal penelusuran pendalaman bakat direkomendasikan kepada Ratna agar terus mengasah diri hingga berhasil menemukan talenta yang sesungguhnya. Jika bakat itu sudah ketemu, Ratna dipesankan pula untuk semakin memperdalamnya.
Otak cerdas Ratna Megawangi bukan hanya memberi kesempatan menyelesaikan pendidikan S-1 dalam waktu singkat. Ia kuliah empat tahun saja sudah berhasil meraih gelar insinyur, pada Mei 1982, dan tamat dengan meraih penghargaan sebagai lulusan terbaik Fakultas Pertanian berdasarkan perolehan tertinggi nilai akademis.
Tahun 1982, agaknya tahun yang berkelimpahan berkat buat Ratna. Selain berhasil tamat sebagai lulusan terbaik di tahun yang sama, ia berhasil dipersunting oleh Sofyan Djalil, seorang pemuda “Mutiara Bangsa dari Aceh”. Mereka pertamakali bertemu di IPB Bogor. Ratna bertemu dengan Sofyan tahun 1980 ketika sudah menginjak bangku kuliah tingkat tiga, sedangkan Sofyan masih tingkat dua Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH-UI), Jakarta.
Usia mereka terpaut lima tahun. Sofyan Djalil, kelahiran Perlak, Aceh 23 September 1953, lebih tua sebab sebelum memasuki kuliah anak petani dari desa pegunungan ini sempat melanglang buana ke mana-mana. Termasuk selama setahun penuh di tahun 1977 hidup sebagai “James” alias Penjaga Mesjid. Sofyan makan, tidur dan hidup melulu di lingkungan mesjid Menteng Raya, Jakarta Pusat, tanpa bekerja.
Sofyan baru berkesempatan bekerja sebagai pegawai negeri sipil golongan II-A tahun 1978, di Kejaksaaan Agung, Jakarta, bertugas sebagai pesuruh yang membantu mengurus mesjid Pusdiklat Kejaksaan Agung. Namun sebagai anak petani tipikal pekerja keras sambil bekerja Sofyan Djalil berkutat ilmu di sore hari dengan menempuh kuliah di FH-UI.
Ratna Megawangi selain cantik, berasal dari keluarga berada, sedang menempuh pendidikan tinggi, sadar dirinya ditaksir oleh banyak pria bukan hanya oleh Sofyan. Cantik namun belum pernah mau membuka hati kepada satu pria manapun. Berbeda ketika berjumpa dengan Sofyan Djalil.
Ratna tanpa tahu sebab mau saja meladeni ngobrol akrab sekaligus membuka hati kepada pria beridealisme tinggi yang, menurut Ratna, ketika itu tampak miskin, jelek, kurus tak terawat, dan tidak pernah memiliki uang lebih di kantong. Kalaupun keduanya makan bersama di restoran, Sofyan Djalil hanya bisa membuka dompet lalu berterus terang mengaku tak punya uang kecuali sekedar ongkos perjalanan.
Selain Ratna, ibunya termasuk orang yang ikut bingung kok mau-maunya Ratna terhadap Sofyan. Namun di balik kebingungannya, Ratna akhirnya berhasil menemukan jawaban kenapa ia bisa menerima, bersikap terbuka, dan mengobrol bebas dengan Sofyan Djalil. Pada diri pria asal Aceh itu Ratna melihat ada potensi tersembunyi. Dalam pandangan mata hati terdalam Ratna, pemuda Sofyan Djalil adalah “Mutiara yang Masih Terpendam”.
“Karena saya, memang, saya sudah senang dengan orang-orang yang punya jiwa-jiwa percaya diri, kepemimpinan. Saya, melihat kepemimpinannya itu,” aku Ratna, yang sebelumnya tak pernah peduli apalagi membuka hati terhadap pria lain. Padahal para pria lain itu bisa menunjukkan diri sebagai lebih keren, lebih gagah, lebih kaya, dan beragam kelebihan lain bisa segera dipertontonkan.
“Jadi, diri saya merasakan, ya, ini! Dan saya tidak melihat bagaimana dia. Tapi saya merasa kagum dengan pandangannya, dan kalau saya hidup bersama dia saya yakin saya bisa apa… namanya, bisa bergantung,” jelas Ratna. Ratna tak mau peduli bagaimana Sofyan Djalil, yang hingga waktu kawin pun tak memiliki uang termasuk untuk membeli cincin perkawinan.
Setelah menikah tambahan kebingungan baru masih dimunculkan orang. Kali ini dari salah seorang adik Ratna, walau hanya berupa canda belaka. Rumahtangga Sofyan Djalil dan Ratna di awal pernikahannya tinggal serumah dengan orangtua Ratna. Hal itu memberi kesempatan kepada adik Ratna mengamati persis apa saja kekayaan yang Sofyan Djalil bawa. Ternyata hanya sebuah koper kecil berisi buku-buku berikut pakaian. “Udah, nggak ada apa-apa lagi, nggak punya apa-apa sama sekali,” kata Ratna.
“Tapi, di situ, kami membangun dari bawah yaitu dengan hope, dengan kerja keras, dengan idealisme. Kami dari dulu punya idealisme yang luar biasa besar semenjak dari masih belum nikah. Jadi, di situlah kita share. Terus, kemudian kepada anak-anak ditekankan hidup itu sederhana, tidak terlalu ini, yah, kita share ke anak-anak semua idealisme kami,” jelas Ratna, perihal kuatnya pondasi rumahtangga yang mereka bangun.
Ada sebuah idealisme besar di balik pendirian keluarga yang tetap mempersatukan Ratna-Sofyan hingga menembus segala batas sekat perbedaan, halangan dan rintangan. Rasa saling percaya sekaligus saling mengisi satu sama lain ditanamkan. Tidak pernah hadir kamus the other the third person. Masa up and down rumahtangga tak sampai menggoyahkan keutuhan idealisme. Malah, perkawinan menurut Ratna adalah sebuah jihad batin bahkan sudah merupakan separuh iman.
Kalaupun keduanya bertengkar kecil-kecilan di rumah itu lebih banyak karena perbedaan persepsi dan paradigma dalam wacana politik. Sebab masing-masing telah sepakat untuk memposisikan diri sebagai the devil’s advocate satu terhadap yang lain untuk saling mengkritisi. Akibatnya keduanya terkadang bersikap keras satu sama lain. Tambahan pula keduanya memiliki tingkat intelektualitas sama tinggi.
Ratna mengaku di antara keduanya hingga kini proses penyesuaian masih tetap berlangsung dan tidak akan ada hentinya. Jika “pertengkaran” tak menemui titik temu, anak-anak dengan segera bisa menjadi penengah yang mengkritisi baik ayah maupun ibunya. Jika ego Sofyan Djalil “mengeluh”, misalnya menyebutkan susah mempunyai istri pintar Ratna dengan enteng bisa bercanda, menyebutkan agar suaminya kawin saja dengan perempuan lulusan SD agar selalu bisa nurut, iya mas, iya bang.
Dididik hidup sederhana
Ratna Megawangi terlahir sebagai anak kedua dari enam bersaduara. Ia lahir di Jakarta, 24 Agustus 1958. Mereka enam bersaudara hidup dan dibesarkan di lingkungan keluarga mapan dan cukup berada. Ayahnya, Drs Harmonie Djaffar berasal dari Banjarmasin, adalah profesional yang bekerja di sebuah perusahaan farmasi milik swasta asing. Sedangkan ibunya bernama Srie Mulyati, seorang wanita berdarah campuran Jawa dan Sunda.
Walau orangtua hidup mapan berkecukupan, Ratna menerima bentuk pengasuhan dan pendidikan berdisiplin keras. Didikan disiplin keras, hemat, dan hidup sederhana semenjak masa kecil, telah menjadikan Ratna dan lima saudaranya memiliki sifat kemandirian, pekerja keras, dan perasaan tidak mau dibantu orang. Sifat-sifat baik itu tetap terlihat dan terasakan manfaatnya setelah dewasa.
Orangtua Ratna, sejak dini sudah menanamkan kebiasaan untuk harus hidup sederhana. Demikian pula tentang harta, jauh-jauh hari sudah diperingatkan agar jangan berharap apa-apa, semisal menerima materi atau warisan dari orangtua. Orangtua hanya memberikan bekal, atau kayuh sebagai bekal hidup yakni pendidikan. “Sehingga, itulah yang memacu kami untuk terus berprestasi dalam hal akademis,” kata Ratna.
Kendati orangtua Ratna memiliki kendaraan mobil, anak-anak dibiasakan pergi ke sekolah menumpang kendaraan umum bis kota atau angkutan kota (Angkot). Demikian pula perihal uang jajan sekolah diberikan sangat terbatas. Jika Ratna dan saudara kakak-beradik hendak menginginkan sesuatu, tiada cara lain yang diajarkan dan dipaksakan, harus terlebih dahulu menabung. Perjuangan menabung dari sedikit uang jajan harus bisa dibuktikan dan diperlihatkan.
“Jadi, kalau kami kecil, kok pelit bangat, ya, kenapa kok ada mobil tidak diantar tiap hari ke sekolah, misalnya, begitu,” kata Ratna, mengenang ajaran hidup sederhana dari orangtua.
Keinginan Ratna kecil ke sekolah diantar naik kendaraan mobil justru terbalik dengan apa yang diinginkan anak perempuannya Safitri Mutia. Anak kedua yang sedang duduk di bangku SMP ini protes keras kepada Ratna ketika belum seminggu ayahnya menjadi menteri supir sudah disuruh menjemputnya ke sekolah.
Setelah Sofyan Djalil menjadi menteri, pemerintah melalui Sekretariat Negara, menugaskan dua orang supir baru berikut kendaraan berbuntut nomor polisi BS untuk bekerja di sebuah rumah di Jalan Anantakupa Raya Blok V/11-12, Kompleks Harapan Baru, Taman Bunga, Harjamukti, Cimanggis, Bogor, tempat kediaman keluarga Sofyan Djalil. Satu supir untuk mendampingi Sofyan Djalil satu lagi untuk Ratna Megawati.
Supir pribadi keluarga yang sebelumnya sudah lama akrab menyertai seluruh anggota keluarga menjadi “menganggur”. Dia itulah yang diutus Ratna menjemput Titi, nama panggilan Safitri Mutia. Lewat telepon genggam Titi yang biasa ke sekolah naik angkutan umum spontan memprotes Ratna, menolak dijemput sebab tetap lebih suka pergi dan pulang sekolah naik Angkot.
Terlebih, Titi sudah mengetahui rencana keluarganya “harus” pindah ke kompleks perumahan menteri di kawasan Widya Chandra, Jakarta Selatan. Dengan demikian tak ada banyak waktu lagi tersisa bagi Titi berpuas diri bersama teman-teman sekolah menaiki angkutan umum bernama Angkot.
Ratna menyebutkan anak-anak sejak kecil telah dididik hidup sederhana dan tidak steril dari masyarakat. Mereka harus tahu denyut nadi dan keprihatinan hati masyarakat atau tetangga. Mereka tidak kapok sehari-hari ke sekolah naik Angkot, kendati anak sulungnya Muhammad Rumi harus menyerahkan uang karena ditodong oleh pisau atau Titi dua kali kehilangan handphone di Angkot
Temukan ‘Makanan Jiwa’
Tamat sebagai lulusan terbaik IPB Bogor Mei 1982, Ratna tidak tahu kemana akan bekerja selanjutnya. Dia masih belum menemukan talenta atau kesenangan hati yang sesungguhnya. Tawaran atau kesempatan bekerja apa pun jika ada pasti akan diterima tanpa perlu proses seleksi dan pemikiran panjang.
Sama persis seperti ketika menjadi mahasiswa jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga (GMSK), Fakultas Pertanian, IPB Bogor di tahun 1978, Ratna dengan mudah masuk menjadi tenaga pengajar di jurusan dan fakultas yang sama di almamaternya itu tahun 1982. Ratna memang amat sangat pragmatis. Tidak terlalu bercita-cita mau menjadi apa. Hidup dijalani begitu saja.
Hingga tiba waktunya, pada tahun 1986, Ratna berkesempatan melanjutkan pendidikan S-2 untuk belajar gizi di School of Nutrition, Tufts University, Medford, Massachussets, AS. Ia memperoleh beasiswa dari Ford Foundation untuk tahun pertama, dan dari World Bank untuk tahun kedua. Ratna berangkat tahun 1986. Selama setahun penuh ia tinggal sendirian di negeri Paman Sam sebelum suaminya bisa datang menyusul kemudian, juga untuk kuliah S-2. Sofyan Djalil akhinya berhasil memperoleh beasiswa kuliah S-2 di perguruan tinggi sama, Tufts University dari kantornya bekerja.
Di School of Nutrition, Ratna merasakan hidup masih biasa-biasa saja. Kuliah sepertinya sekedar menjalankan kewajiban tanpa tahu harus ke mana. Pokoknya dapat sekolah ya sekolah saja. Ratna lulus dan meraih gelar S-2 Master of Science (M.Sc) tahun 1988. Pada saat itu Sofyan Djalil baru setahun menjalani kuliah S-2. Ratna harus menunggu akhir kuliah suami sampai selesai setahun lagi.
Sambil menunggu, Ratna yang ketika lulus S-2 disarankan untuk meneruskan kuliah ke program doktor itu memperoleh dorongan dari mantan dekannya untuk mengajukan “beasiswa” dalam bentuk lain. Yakni, Ratna tidak perlu membayar uang kuliah namun dikasih pekerjaan sebagai tenaga research asisstant. Tahun 1988 Ratna mulai kuliah S-3 sambil bekerja sebagai tenaga riset. Tahun 1990 ia melahirkan anak kedua, Safitri Mutia dan tahun 1991 lulus sebagai doktor bergelar Ph.D dalam bidang International Food and Nutrition Policy.
Ketika Ratna lulus S-3, Sofyan Djalil justru baru setahun memasuki kuliah S-3. Sofyan mengambil S-3 sebab ketika lulus master of arts (MA) bidang studi Public Policy tahun 1989 Ratna masih sedang mengambil S-3. Saat menunggu Ratna menyelesaikan kuliah S-3, Sofyan mengajukan proposal baru ke kantor pusat tempatnya bekerja di Jakarta, agar bisa memperoleh beasiswa baru untuk S-3. Proposal itu disetujui. Sofyan mengambil bidang International Financial and Capital Market Law and Policy.
Dengan demikian, ketika Ratna sudah menyelesaikan Ph.D tahun 199,1 Sofyan Djalil baru setahun kuliah S-3. Ratna kemudian harus menunggu lagi sebab sudah dengan dua orang anak rasanya berat dan enggan berpisah dengan suami. Seorang profesor, dosen Ratna, kemudian menawarkan Ratna masuk post doctoral program.
Sebagai kesempatan baru tawaran itu segera saja diambil. Walau, belajar tentang anak, keluarga, proyek keluarga, dan child development adalah suatu hal baru bagi Ratna. Ratna mau ambil sebab hanya disiplin ini yang memiliki dana beasiswa di tingkat post doctoral program. Di post doctoral program, Ratna harus melupakan ilmu bidang Gizi Makanan dan Sumberdaya Keluarga (GMSK) keahlian dan kepakaran Ratna semenjak S-1 hingga S-3.
Uniknya, momentum post doctoral program justru menjadi titik picu awal, cikal bakal, kiprah kepeloporan Ratna Megawangi sebagai penggagas pendidikan holistik berbasis karakter. Ratna berhasil menemukan jati diri, kesenangan, talenta, visi kehidupan, dan hakekat idealismenya yang sesungguhnya pada fenomena anak dan keluarga.
Di post doctoral program antara 1991-1993, Ratna menjalankan tugas sebagai independent research. Ia mengadakan sejumlah riset tentang keluarga dan perkembangan anak di berbagai negara. Ratna mulai menyadari bakat dan kesenangannya ada di bidang humaniora yang multi disiplin ilmu yang menggabungkan beragam ilmu seperti ilmu sosial, sosiologi, psikologi, budaya, hingga filsafat. Atau secara spesifik ilmu tentang anak, keluarga, perkembangan anak, pengasuhan anak, pendidikan anak, kultur keluarga, atau segala hal terkait anak dan keluarga. Ratna segera mencintai bidang ini dengan penuh semangat baru yang luar biasa sekali.
“Nah, sewaktu saya melakukan post doctoral program, saya merasa inilah yang rasanya menyentuh bukan saja intelectual academic saya. Tetapi juga menyentuh hati saya, jiwa saya, begitu,” kata Ratna. Gizi, kata Ratna, adalah food for the phyisical body, sedangkan masalah-masalah pendidikan anak dan keluarga menurutnya merupakan food for the soul. “Keduanya sama saja, makanan juga. Bedanya yang satu makanan tubuh satu lagi makanan jiwa,” jelas Ratna berkata mantap.
Ratna mengamati fenomena atau persoalan anak dan keluarga telah dianggap sebagian besar masyarakat sebagai bagian kehidupan sehari-hari yang biasa-biasa saja. Bahkan sudah dianggap sebagai taken for granted yang tidak terlalu penting untuk dirasakan. Namun setelah Ratna mempelajari anak dan keluarga sebagai teori ternyata persoalannya luar biasa menarik sekali. Di dalamnya terdapat unsur spiritual, masalah komitmen, dan beragam masalah lain.
Ratna lalu memutuskan masalah anak dan keluarga menjadi bidang yang akan dikembangkan setibanya di Indonesia. Tahun 1993, Ratna menyelesaikan post doctoral program dan menjadikan manuskrip hasil penelitiannya bersama profesornya Prof. Marian Zeitlin, terbit sebagai buku berjudul “Strengthening The Family: Implications for International Development”, oleh United University Press, Tokyo, tahun 1995.
Menemukan kesenangan baru, Ratna bersedia segera pulang lebih awal ke Indonesia Januari 1993. Padahal Sofyan Djalil masih menulis disertasi untuk menyelesaikan S-3. Mereka berpisah enam bulan sebab baru pada Juni 1993, Sofyan bisa kembali.
Tiba di Indonesia dan kembali ke IPB Bogor, Ratna menemukan sudah banyak sekali kawan-kawannya yang ahli Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Setahun pertama kepulangannya, Ratna masih mengajar mata kuliah food economics and nutrition planning. Tapi hatinya sungguh-sungguh sudah tak lagi di situ. Ratna mengetahui bidang keluarga masih baru berkembang itu pun lambat dan kecil jumlahnya.
Ke fakultasya, Ratna mengajukan permohonan untuk membuka mata kuliah wajib baru Pengantar Teori Keluarga. Ratna berpendapat institusi keluarga harus diberikan secara teori kepada setiap mahasiswa jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Sebab di jurusan itu ada unsur paradigma politik dan filsafat. Ratna harus mengajarkan teori marxisme, komunisme, sejumlah teori-teori yang bersifat fungsional dan semua teori tentang pro dan kontra dalam keluarga supaya mahasiswa memiliki bekal dari segi paradigma.
“Jadi, bisa berpikir dalam konteks paradigma,” kata Ratna. Tak berhenti di situ. Ratna mengambil-alih mata kuliah Teori Keluarga Lanjut untuk setiap mahasiswa program S-2, kemudian membuka matakuliah baru Individu, Keluarga dan Masyarakat untuk mahasiswa S-3.
Membangung Bangsa Berkarakter
Selain menempuh pendidikan tinggi di negeri Paman Sam, Amerika Serikat, Ratna Megawangi bersama suami Sofyan Djalil mengalami kontemplasi hidup yang intens. Secara khusus mereka berdua pernah berkenalan dengan sejumlah aliran dalam sufisme. Sejumlah ilmu, teori dan filsafat kehidupan sudah cukup dimengerti dan melekat erat dalam diri mereka berdua.
Sejak tahun 2000, Ratna dan Sofyan sepakat berbuat sesuatu yang konkrit bagi bangsa yakni membangun bangsa berkarakter. Mereka memberanikan diri membangun Indonesia Heritage Foundation atau Yayasan Warisan Luhur Indonesia dengan modal nekat. Yayasan berhasil merekrut 12 orang mahasiswa terbaik IPB Bogor sebagai pengerja awal. Yayasan didirikan nekat sebab hanya dengan kapital kecil Rp 75 juta, hasil tabungan yang memang dipersiapkan untuk tujuan ini. Dengan seed money yang kecil tersebut, ternyata telah berhasil menarik beberapa donatur untuk mendukung program yayasan dalam mewujudkan visi yayasan “Membangung Bangsa Berkarakter”.
Terdapat sembilan pilar karakter nilai-nilai luhur universal yang ditanamkan kepada anak sejak dini usia prasekolah. Pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaaan-Nya; Kedua, kemandirian dan tanggungjawab; Ketiga, kejujuran/amanah, diplomatis; Keempat, hormat dan santun; Kelima, dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama; Keenam, percaya diri dan pekerja keras; Ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; Kedelapan, baik dan rendah hati, dan; Kesembilan, karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan.
Kesembilan pilar karakter diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan holistik menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good. Knowing the good bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat kognitif saja. Setelah knowing the good harus ditumbuhkan feeling loving the good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan menjadi engine yang selalu bekerja membuat orang mau selalu berbuat sesuatu kebaikan. Orang mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku kebajikan itu. Setelah terbiasa melakukan kebajikan acting the good berubah menjadi kebiasaan.
Setiap anak untuk tiba pada perilaku berkarakater kuat membutuhkan proses luar biasa sulit. “Nah, walaupun kita nggak ada feeling, ya, tapi kalau orang sudah terbiasa berbuat baik, sekali dia berbuat tidak baik sudah tidak enak. Jadi, kebiasaan itu menimbulkan suatu nurani yang rasa tidak enak, dia rasa malu,” kata Ratna.
Tahun 2001 pendidikan holistik berbasis karakter mulai diujicoba. Pada tahun 2003 dilakukan evaluasi internal, monitoring, perbaikan dan segala macam. Termasuk meneliti sekitar 600 anak didik yang dilakukan oleh sejumlah mahasiswa IPB. Mereka meneliti dampak pendidikan holistik berbasis sembilan karakter terhadap perilaku keseharian anak. Hasilnya ternyata luar biasa.
“Nah, tahun 2003, alhamdulilah hasil penelitian yang kami lakukan itu teryata promising. Jadi, anak-anak yang ikut program kami namanya: Semai Benih Bangsa atau SBB, dengan yang tidak atau yang masuk TK biasa, itu secara statistik signifikan lebih bagus karakternya yang sembilan pilar itu, dibandingkan dengan yang TK yang biasa,” kata Ratna. Tahun 2004 alumni lembaga sekolah yang diberi nama Institut Pengembangan Pendidikan Karakter sudah duduk di bangku SD kelas empat.
Ratna mendedikasikan diri sepenuhnya pada Yayasan. Sedangkan Sofyan Djalil sehari-hari bergiat sebagai profesional murni untuk mencukupi kebutuhan keluarga, mendirikan sekaligus menjadi managing partner sebuah perusahaan konsultan Sofyan Djalil and Partner (SDP). Ratna praktis berpenghasilan nol. Gaji bulanannya sebagai dosen di IPB tak pernah diambil. Sebab mengajar hanya satu dua kali seminggu dirasanya tak pantas menerima gaji. Itu lebih baik dia sumbangkan saja.
Ratna Megawangi yang berintegritas tinggi dan independen dalam bersikap, dalam sisi-sisi tertentu merasakan ada ketergantungan yang amat sangat terhadap suaminya, seperti secara emosional dan finansial. Namun ke mana-mana Ratna tak pernah membawa-bawa nama Sofyan Djalil. Baik sebelum apalagi setelah menjadi Menteri Komunikasi dan Informasi Kabinet Indonesia Bersatu.
Termasuk, selama ini Ratna tak pernah mencantumkan nama Sofyan atau Djalil atau Sofyan Djalil dalam nama lengkapnya, kecuali “Dr. Ir. Ratna Megawangi, M.Sc” saja. Ratna mengungkapkan sebuah tabir, ia malah tak banyak dikenal orang sebagai istri Sofyan Djalil. Sofyan sendiri telah meminta Ratna agar sebagai istri menteri tak perlu terlalu involved dalam keseharian kegiatan Ibu Dharma Wanita.
“Bahkan, suami saya juga bilang bahwa kamu adalah kamu. Ya, artinya kamu adalah Ratna Megawangi yang nggak ada embel-embelnya dengan Menteri Komunikasi ini. Kamu sudah dibangun dari awal begitu,” kata Ratna, yang tak akan mengubah diri hanya karena bersuamikan seorang menteri.
Ratna pun menggariskan akan menerapkan cost of benefit analisys dalam setiap pilihan pengambilan keputusan antara memosisikan diri sebagai istri menteri atau sebagai seorang pribadi Ratna Megawangi yang Direktur Eksekutif Yayasan Warisan Luhur Indonesia. Mana yang paling menguntungkan saja.
Misalnya jika pada waktu bersamaan, Ratna harus memilih antara mendampingi suami mengikuti acara jamuan makan kenegaraan, atau memberikan ceramah dan pelatihan kepada para guru pendidikan holistik berbasis karakter. Berdasarkan cst of benefit analisys, Ratna pasti akan memilih yang terakhir.
Karena guru-guru adalah corong dan ujung tombak di kelas. Kalau guru-guru sadar semua anak-anak akan berkarakter bagus. “Banyak guru-guru yang menangis setelah kita berikan pelatihan bagaimana memberikan pendidikan karakter secara holistik kepada anak. ‘Oh ternyata begitu, apa yang kami ajarkan selama puluhan tahun ini selalu dipersalahkan,” kata Ratna, mengutip komentar para guru yang baru melek mata setelah melihat betapa pentingnya menanamkan karakter pada anak didik sejak dini.
Ratna yang sedari kecil dididik mandiri, pekerja keras, hemat, berdisiplin tinggi, ketika dewasa tetap menjadi seorang wanita yang juga mandiri, independen, kritis, pekerja keras, toleran, dan berintelektual tinggi.
Perempuan yang selalu mengenakan busana muslimah ini adalah salah satu penerima penghargaan “80 Tokoh Wanita Muslim Paling Terkemuka Indonesia”, yang profilnya pernah dibukukan dalam “Profil Tokoh Wanita Muslim Indonesia,” tahun 2002. Tampil selalu berbusana muslimah, namun visi toleransi Ratna Megawangi begitu tinggi.
Ratna Megawangi bukan hanya tiga setengah tahun sudah menjadi kontributor tetap mengisi kolom “Titik Pandang”, tiap hari kamis di harian sore “Suara Pembaruan”, atau sebelumnya aktif menulis di harian “Kompas”.
Ratna Megawangi dalam buku terbarunya “Pendidikan Karakter Solusi yang Tepat untuk Membangun Bangsa”, terbit Juli 2004, tak merasa enggan mengutip beberapa ayat firman Tuhan dari Alkitab Perjanjian Baru, seperti kitab Lukas sebagai referensi. Sedangkan kitab suci tak dapat dibatalkan, firman Tuhan itu ya dan amin alpha dan omega. Ratna juga penulis tetap di tabloid MQ milik KH Abdullah Gymnastiar atau Aa Gym. Semuanya menggagas tentang pendidikan anak dan moral.
Kekritisan Ratna Megawangi tak luntur sedikitpun walau suaminya masuk ke dalam birokrasi pemerintah. Persoalan pajak adalah sekelumit saja sikap kritis yang diungkapkannya. Ratna Megawangi yang pada Pemilu Legislatif mengaku tidak memilih alias golput, sedangkan pada Pemilu Presiden memilih pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla. Pilihan itu dipastikannya didasarkan bukan karena suaminya anggota Tim Sukses SBY-JK.
Ratna mengkritisi kecenderungan pemerintah menggenjot pendapatan pajak tinggi. Ratna lebih suka dengan pajak yang rendah. Sebab dengan pajak rendah investasi akan meningkat, saving meningkat, terbentuk akhlak yang bagus sebab orang rajin bekerja demi meraih pendapatan, dengan tingkat saving tinggi akan tinggi pula tingkat investasi sehingga terbuka banyak lapangan kerja, orang bekerja sangat industrious, perputaran ekonomi menjadi marak.
Sedangkan pajak tinggi pasti akan membuat orang malas bekerja sebab apa-apa pendapatan selalu dipajakin, pekerja merasa di-punished, tabungan menipis, lalu berdampak tidak ada investasi.
Demikian juga janji-janji pemerintah berikut tuntutan masyarakat yang menginginkan serba gratis. Biaya pendidikan gratis pelayanan kesehatan gratis, itu, kata Ratna membuat rakyat menjadi sangat tergantung kepada pemerintah, rakyat menjadi tidak mandiri. Pada sisi lain untuk memenuhi pelayanan gratis serta untuk memperbesar pendapatan pajak Pemerintahan harus dibuat besar. Pada Pemerintahan yang besar terbuka peluang untuk cari kekayaan dan cenderung korup. “Di mana-mana perilaku birokrasi pasti inheren, embeded dengan perilaku yang tidak efisien,” kata Ratna Megawangi. ►e-ti/ht-ms
(sumber >> TokohIndonesia DotCom / Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
Pendiri dan Direktur Eksekutif Indonesia Heritage Foundation, yang mengelola hampir 100 sekolah karakter di berbagai penjuru tanah air, ini juga seorang penulis terkemuka. Buku dan artikel dosen dan lulusan terbaik IPB (1982) ini sering menjadi perdebatan hangat dan best seller.
Lewat Yayasan Warisan Luhur Indonesia (Indonesia Heritage Foundation) yang dirikan tahun 2001, Ratna Megawangi dan suaminya Dr. Sofyan A. Djalil, SH, MA, MALD (Menteri Negara Komunikasi dan Informasi) bersama teman-temannya menuangkan sebuah idealisme, mimpi dan harapan besar bahwa suatu saat Bangsa Indonesia akan berjaya sebagai bangsa yang berkarakter kuat.
Akan tiba saatnya bangsa ini menuai buah dari benih-benih bangsa, yang sejak 2001sudah mulai disemai di mana-mana, melalui pendidikan holistik berbasis karakter yang digerakkan Yayasan Warisan Luhur Indonesia. Yakni benih-benih bangsa yang berkarakter kuat, benih-benih bangsa yang mempunyai akhlak mulia yang universal sesuai warisan nilai-nilai luhur Indonesia.
Pendidikan holistik berbasis karakter ditanamkan sejak usia prasekolah kepada anak-anak dari beragam latarbelakang. TK Karakter dan Semai Benih Bangsa yang dikelola kini berjumlah hampir 100 sekolah dan tersebar di berbagai penjuru tanah air, serta akan terus berkembang secara tak terbatas di kemudian hari. TK Karakter dan Semai Benih Bangsa diplot mampu menembus batas sekat perbedaan agama, suku, golongan, status sosial, kaya atau miskin, semua anak berkesempatan memperoleh pendidikan karakter yang didirikan dan dikelolanya.
Membiarkan Berbeda
Jauh sebelum suaminya, Sofyan A. Djalil, menjadi Menteri Negara Komunikasi dan Informasi Kabinet Indonesia Bersatu, nama Ratna Megawangi, Ph.D, kelahiran Jakarta 24 Agustus 1958, sudah menjadi wacana perdebatan dan polemik hangat di media massa nasional. Ratna, penulis buku berjudul “Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender” tahun 1999, ini sudah produktif menulis buku dan artikel di sejumlah media massa sejak tahun 1994.
Ia aktif membuka wacana tentang anak, keluarga, dan perempuan. Kehadiran Ratna dianggap banyak pihak selalu bernada antagonistis terutama oleh pengusung gerakan feminisme bahkan against the stream bagi mainstream yang sedang berkembang.
Buku “Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender” selain bernada antitesa, juga against the stream bagi mainstream gerakan feminisme yang sedang gencar memperjuangkan kesetaraan gender.
Ratna di situ menyadarkan para pihak bahwa sesungguhnya antara laki-laki dengan perempuan tidaklah bisa dipersama-ratakan. Secara kodrati, genetika, psikis, dan fisik keduanya berbeda. Karenanya perbedaan itu haruslah dipelihara menjadi sebuah perbedaan yang harmoni. Perbedaan yang bisa diperlihatkan dalam pembawaan peran masing-masing yang saling melengkapi. Ratna dalam bukunya menawarkan sudut pandang baru tentang relasi gender.
Buku yang mulai ditulis tahun 1997 dan selesai persis seminggu setelah Tragedi Nasional 14 Mei 1998, kemudian diterbitkan tahun 1999 oleh Penerbit Mizan, Bandung, itu memuat berbagai postulat dasar, idiologi, paradigma, dan contoh-contoh tentang kegagalan ide kesamarataan lelaki-perempuan di berbagai negara terutama di negara komunis, berikut beragam pemikiran lain yang memberikan Ratna kesimpulan akhir bahwa lelaki dan perempuan adalah berbeda.
Berbeda sehingga tidak bisa disetarakan secara kuantitatif fifty-fifty. Di Singapura, Korea, atau Jepang, demikian pula di negara-negara maju keterwakilan perempuan di lembaga parlemen sekitar 10% saja. Di Indonesia diperjuangkan jauh lebih liberal harus 30% perempuan di DPR, walau yang bisa dicapai masih belasan persen. Ratna menawarkan sudut pandang baru tentang relasi gender.
Pasca kejatuhan rejim Orde Baru, Ratna Megawangi merasa lega sebab ajaran Karl Marx yang ada dalam bukunya, sesuatu yang bisa dicap sebagai tindakan makar dan merongrong ideologi Pancasila pada masa sebelum itu, menjadi lolos sensor alias terbit tanpa harus melalui sensor. Ratna sadar berdasarkan pengalamannya sebagai dosen ilmu filsafat untuk mahasiswa S-2 di IPB Bogor, ide-ide Karl Marx yang ditulisnya bisa membuat seseorang menjadi Marxis sejati, atau di sisi lain malah menjadi sangat konservatif.
Sudut pandang baru tentang relasi gender yang ditawarkan Ratna melawan arus besar justru pada saat kesetaraan sedang digaungkan oleh para penggagas gerakan feminisme. Seketika hadir buku itu segera menjadi bahan polemik berkepanjangan di media massa. Bahkan tak kurang 14 kali Ratna harus hadir langsung di acara bedah buku di beragam komunitas. Tak heran jika buku itu menjadi buku laris atau best seller yang mengalami cetak ulang hingga tiga kali, bahkan bersiap-siap untuk dicetak keempat kalinya.
Selain best seller buku yang penulisannya diinspirasikan oleh buku “The Tao of Islam” karangan Sachico Murata dari Jepang, di mana Ratna menjadi editor edisi terjemahan bahasa Indonesia berjudul sama “The Tao of Islam” diterbitkan oleh Mizan, Bandung tahun 1996, itu menjadi bahan bahan tesis seorang mahasiswi asing asal Sydney, Australia yang pernah bermukim dan magang di UGM Yogyakarta.
Mahasiswi asing yang pandai berbahasa Indonesia itu berhasil mendapatkan buku karangan Ratna Megawangi, lalu membuat tesis khusus tentang buku dengan judul “A Textual Analisys of Membiarkan Berbeda”. Mahasiswi perguruan tinggi The Australian National University itu berpendapat, buku “Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender” adalah satu-satunya buku yang pernah ia baca yang memberikan solusi terhadap relasi gender yang lebih harmonis.
“Karena memang, di buku itu bab terakhir saya tawarkan solusinya, tak sekadar antagonisme. Tapi, solusinya bagaimana keharmonisan dalam keluarga bisa dibentuk melalui keharmonisan relasi jender,” kata Ratna Megawangi, di rumahnya yang asri kawasan Harjamukti, Cimanggis, Depok.
Sebelum menulis buku “Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender”, Ratna sudah sejak lama berani membuka wacana dan polemik tentang masalah anak, keluarga, dan terutama perempuan atau masalah feminisme di harian Kompas, semenjak tahun 1994 atau persis sepulang dari studi S-3 di Amerika Serikat tahun 1993.
Dalam catatan pribadinya Ratna menyebutkan sudah pernah menulis lebih dari 30 artikel yang dipublikasi Kompas, berisi visinya tentang perempuan. Ratna datang sebagai antagonisme baru yang berani berbeda terhadap pandangan para kaum gerakan feminisme.
Kaum feminis tentu saja menjadi marah oleh kahadiran Ratna. Sebab baru pada tahun 1992 muncul mainstream baru gerakan feminisme. Pada gerakan itu para feminis bergerak luar biasa menuntut kebebasan perempuan, emansipasi, dan segala macam memperjuangkan kesamaan hak-hak perempuan dengan lelaki.
Istri Menteri
Tak ada perubahan yang berarti dalam diri Ratna Megawangi setelah suaminya Dr. Sofyan A. Djalil, SH, MA, MALD “Mutiara Bangsa dari Aceh” dipercaya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Menteri Negara Komunikasi dan Informasi (Kominfo) Kabinet Indonesia Bersatu.
Embel-embel sebagai istri seorang menteri tak akan mengurangi mimpi dan idealisme besar Ratna membangun bangsa lewat pendidikan holistik berbasis karakter kepada anak-anak sejak usia dini prasekolah, buah terbesar yang diperolehnya selama studi S-2, S-3, dan post doctoral di Tufts University, Medford, AS.
Suami Ratna, Sofyan Djalil sehari-hari adalah profesional murni yang bergerak di bidang konsultan spesialis implementasi good corporate governance dan good corporate communication. Setelah diangkat menjadi menteri, ke lingkungan elit nasional dan pemerintahan, Sofyan diharapkan bisa menyelipkan pelan-pelan pesan moral perlunya semua pihak membangun karakter anak secara holistik ke dunia pendidikan sejak dini usia prasekolah.
Pendidikan holistik berbasis karakter saat ini diakui Ratna Megawangi, pemakai kacamata minus yang saban hari mengenakan busana muslimah, masihlah ide kecil. Namun ide kecil ini secara perlahan tapi pasti akan tumbuh menjadi besar yang bahkan mampu mengubahkan paradigma bangsa menjadi bangsa yang berkarakter kuat.
Ide kecil pendidikan holistik berbasis karakter dianggap Ratna sebuah kepakan sayap kupu-kupu kecil dari sebuah rumah sederhana di Cimanggis namun mampu menjadi angin tornado besar dan gerak turbulensi baru yang menggentarkan kalbu di mana-mana.
Lulusan Terbaik IPB
Ratna Megawangi adalah ibu dari tiga orang anak yakni Muhammad Rumi lahir tahun 1985, Safitri Mutia lahir di Amerika Serikat tahun 1990, dan Muhammad Lutfi lahir tahun 1998. Ratna sesungguhnya adalah pakar dan dosen ilmu Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga (GMSK), di Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor.
Di tahun 1978, otaknya yang cerdas telah menuntunnya untuk memilih kuliah di IPB, ditambah dorongan dari ayahnya Drs Harmonie Jaffar, seorang profesional yang bekerja di sebuah perusahaan farmasi swasta asing. Ketika itu, dari ayahnya Ratna mengetahui Kampus IPB Bogor mempunyai program bagus berupa kesempatan mengikuti tes ujian akhir menyelesaikan kuliah dalam waktu singkat empat tahun.
Tiada motivasi lain kecuali menyelesaikan kuliah sesegera mungkin tanpa mempedulikan jurusan apa yang dirasa terbaik dan di mana hendak berkiprah. Sebab Ratna belumlah menemukan apa bakat dan kesenangannya yang permanen. Berdasarkan test psikologi atau psikotes yang pernah dijalani diperoleh hasil di semua bidang Ratna mencatat nilai rata-rata yang sama bagus.
Direkomendasikan pula, Ratna cocok dan berkesempatan memilih disiplin ilmu serta bekerja di bidang apa saja. Nah, khusus perihal penelusuran pendalaman bakat direkomendasikan kepada Ratna agar terus mengasah diri hingga berhasil menemukan talenta yang sesungguhnya. Jika bakat itu sudah ketemu, Ratna dipesankan pula untuk semakin memperdalamnya.
Otak cerdas Ratna Megawangi bukan hanya memberi kesempatan menyelesaikan pendidikan S-1 dalam waktu singkat. Ia kuliah empat tahun saja sudah berhasil meraih gelar insinyur, pada Mei 1982, dan tamat dengan meraih penghargaan sebagai lulusan terbaik Fakultas Pertanian berdasarkan perolehan tertinggi nilai akademis.
Tahun 1982, agaknya tahun yang berkelimpahan berkat buat Ratna. Selain berhasil tamat sebagai lulusan terbaik di tahun yang sama, ia berhasil dipersunting oleh Sofyan Djalil, seorang pemuda “Mutiara Bangsa dari Aceh”. Mereka pertamakali bertemu di IPB Bogor. Ratna bertemu dengan Sofyan tahun 1980 ketika sudah menginjak bangku kuliah tingkat tiga, sedangkan Sofyan masih tingkat dua Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH-UI), Jakarta.
Usia mereka terpaut lima tahun. Sofyan Djalil, kelahiran Perlak, Aceh 23 September 1953, lebih tua sebab sebelum memasuki kuliah anak petani dari desa pegunungan ini sempat melanglang buana ke mana-mana. Termasuk selama setahun penuh di tahun 1977 hidup sebagai “James” alias Penjaga Mesjid. Sofyan makan, tidur dan hidup melulu di lingkungan mesjid Menteng Raya, Jakarta Pusat, tanpa bekerja.
Sofyan baru berkesempatan bekerja sebagai pegawai negeri sipil golongan II-A tahun 1978, di Kejaksaaan Agung, Jakarta, bertugas sebagai pesuruh yang membantu mengurus mesjid Pusdiklat Kejaksaan Agung. Namun sebagai anak petani tipikal pekerja keras sambil bekerja Sofyan Djalil berkutat ilmu di sore hari dengan menempuh kuliah di FH-UI.
Ratna Megawangi selain cantik, berasal dari keluarga berada, sedang menempuh pendidikan tinggi, sadar dirinya ditaksir oleh banyak pria bukan hanya oleh Sofyan. Cantik namun belum pernah mau membuka hati kepada satu pria manapun. Berbeda ketika berjumpa dengan Sofyan Djalil.
Ratna tanpa tahu sebab mau saja meladeni ngobrol akrab sekaligus membuka hati kepada pria beridealisme tinggi yang, menurut Ratna, ketika itu tampak miskin, jelek, kurus tak terawat, dan tidak pernah memiliki uang lebih di kantong. Kalaupun keduanya makan bersama di restoran, Sofyan Djalil hanya bisa membuka dompet lalu berterus terang mengaku tak punya uang kecuali sekedar ongkos perjalanan.
Selain Ratna, ibunya termasuk orang yang ikut bingung kok mau-maunya Ratna terhadap Sofyan. Namun di balik kebingungannya, Ratna akhirnya berhasil menemukan jawaban kenapa ia bisa menerima, bersikap terbuka, dan mengobrol bebas dengan Sofyan Djalil. Pada diri pria asal Aceh itu Ratna melihat ada potensi tersembunyi. Dalam pandangan mata hati terdalam Ratna, pemuda Sofyan Djalil adalah “Mutiara yang Masih Terpendam”.
“Karena saya, memang, saya sudah senang dengan orang-orang yang punya jiwa-jiwa percaya diri, kepemimpinan. Saya, melihat kepemimpinannya itu,” aku Ratna, yang sebelumnya tak pernah peduli apalagi membuka hati terhadap pria lain. Padahal para pria lain itu bisa menunjukkan diri sebagai lebih keren, lebih gagah, lebih kaya, dan beragam kelebihan lain bisa segera dipertontonkan.
“Jadi, diri saya merasakan, ya, ini! Dan saya tidak melihat bagaimana dia. Tapi saya merasa kagum dengan pandangannya, dan kalau saya hidup bersama dia saya yakin saya bisa apa… namanya, bisa bergantung,” jelas Ratna. Ratna tak mau peduli bagaimana Sofyan Djalil, yang hingga waktu kawin pun tak memiliki uang termasuk untuk membeli cincin perkawinan.
Setelah menikah tambahan kebingungan baru masih dimunculkan orang. Kali ini dari salah seorang adik Ratna, walau hanya berupa canda belaka. Rumahtangga Sofyan Djalil dan Ratna di awal pernikahannya tinggal serumah dengan orangtua Ratna. Hal itu memberi kesempatan kepada adik Ratna mengamati persis apa saja kekayaan yang Sofyan Djalil bawa. Ternyata hanya sebuah koper kecil berisi buku-buku berikut pakaian. “Udah, nggak ada apa-apa lagi, nggak punya apa-apa sama sekali,” kata Ratna.
“Tapi, di situ, kami membangun dari bawah yaitu dengan hope, dengan kerja keras, dengan idealisme. Kami dari dulu punya idealisme yang luar biasa besar semenjak dari masih belum nikah. Jadi, di situlah kita share. Terus, kemudian kepada anak-anak ditekankan hidup itu sederhana, tidak terlalu ini, yah, kita share ke anak-anak semua idealisme kami,” jelas Ratna, perihal kuatnya pondasi rumahtangga yang mereka bangun.
Ada sebuah idealisme besar di balik pendirian keluarga yang tetap mempersatukan Ratna-Sofyan hingga menembus segala batas sekat perbedaan, halangan dan rintangan. Rasa saling percaya sekaligus saling mengisi satu sama lain ditanamkan. Tidak pernah hadir kamus the other the third person. Masa up and down rumahtangga tak sampai menggoyahkan keutuhan idealisme. Malah, perkawinan menurut Ratna adalah sebuah jihad batin bahkan sudah merupakan separuh iman.
Kalaupun keduanya bertengkar kecil-kecilan di rumah itu lebih banyak karena perbedaan persepsi dan paradigma dalam wacana politik. Sebab masing-masing telah sepakat untuk memposisikan diri sebagai the devil’s advocate satu terhadap yang lain untuk saling mengkritisi. Akibatnya keduanya terkadang bersikap keras satu sama lain. Tambahan pula keduanya memiliki tingkat intelektualitas sama tinggi.
Ratna mengaku di antara keduanya hingga kini proses penyesuaian masih tetap berlangsung dan tidak akan ada hentinya. Jika “pertengkaran” tak menemui titik temu, anak-anak dengan segera bisa menjadi penengah yang mengkritisi baik ayah maupun ibunya. Jika ego Sofyan Djalil “mengeluh”, misalnya menyebutkan susah mempunyai istri pintar Ratna dengan enteng bisa bercanda, menyebutkan agar suaminya kawin saja dengan perempuan lulusan SD agar selalu bisa nurut, iya mas, iya bang.
Dididik hidup sederhana
Ratna Megawangi terlahir sebagai anak kedua dari enam bersaduara. Ia lahir di Jakarta, 24 Agustus 1958. Mereka enam bersaudara hidup dan dibesarkan di lingkungan keluarga mapan dan cukup berada. Ayahnya, Drs Harmonie Djaffar berasal dari Banjarmasin, adalah profesional yang bekerja di sebuah perusahaan farmasi milik swasta asing. Sedangkan ibunya bernama Srie Mulyati, seorang wanita berdarah campuran Jawa dan Sunda.
Walau orangtua hidup mapan berkecukupan, Ratna menerima bentuk pengasuhan dan pendidikan berdisiplin keras. Didikan disiplin keras, hemat, dan hidup sederhana semenjak masa kecil, telah menjadikan Ratna dan lima saudaranya memiliki sifat kemandirian, pekerja keras, dan perasaan tidak mau dibantu orang. Sifat-sifat baik itu tetap terlihat dan terasakan manfaatnya setelah dewasa.
Orangtua Ratna, sejak dini sudah menanamkan kebiasaan untuk harus hidup sederhana. Demikian pula tentang harta, jauh-jauh hari sudah diperingatkan agar jangan berharap apa-apa, semisal menerima materi atau warisan dari orangtua. Orangtua hanya memberikan bekal, atau kayuh sebagai bekal hidup yakni pendidikan. “Sehingga, itulah yang memacu kami untuk terus berprestasi dalam hal akademis,” kata Ratna.
Kendati orangtua Ratna memiliki kendaraan mobil, anak-anak dibiasakan pergi ke sekolah menumpang kendaraan umum bis kota atau angkutan kota (Angkot). Demikian pula perihal uang jajan sekolah diberikan sangat terbatas. Jika Ratna dan saudara kakak-beradik hendak menginginkan sesuatu, tiada cara lain yang diajarkan dan dipaksakan, harus terlebih dahulu menabung. Perjuangan menabung dari sedikit uang jajan harus bisa dibuktikan dan diperlihatkan.
“Jadi, kalau kami kecil, kok pelit bangat, ya, kenapa kok ada mobil tidak diantar tiap hari ke sekolah, misalnya, begitu,” kata Ratna, mengenang ajaran hidup sederhana dari orangtua.
Keinginan Ratna kecil ke sekolah diantar naik kendaraan mobil justru terbalik dengan apa yang diinginkan anak perempuannya Safitri Mutia. Anak kedua yang sedang duduk di bangku SMP ini protes keras kepada Ratna ketika belum seminggu ayahnya menjadi menteri supir sudah disuruh menjemputnya ke sekolah.
Setelah Sofyan Djalil menjadi menteri, pemerintah melalui Sekretariat Negara, menugaskan dua orang supir baru berikut kendaraan berbuntut nomor polisi BS untuk bekerja di sebuah rumah di Jalan Anantakupa Raya Blok V/11-12, Kompleks Harapan Baru, Taman Bunga, Harjamukti, Cimanggis, Bogor, tempat kediaman keluarga Sofyan Djalil. Satu supir untuk mendampingi Sofyan Djalil satu lagi untuk Ratna Megawati.
Supir pribadi keluarga yang sebelumnya sudah lama akrab menyertai seluruh anggota keluarga menjadi “menganggur”. Dia itulah yang diutus Ratna menjemput Titi, nama panggilan Safitri Mutia. Lewat telepon genggam Titi yang biasa ke sekolah naik angkutan umum spontan memprotes Ratna, menolak dijemput sebab tetap lebih suka pergi dan pulang sekolah naik Angkot.
Terlebih, Titi sudah mengetahui rencana keluarganya “harus” pindah ke kompleks perumahan menteri di kawasan Widya Chandra, Jakarta Selatan. Dengan demikian tak ada banyak waktu lagi tersisa bagi Titi berpuas diri bersama teman-teman sekolah menaiki angkutan umum bernama Angkot.
Ratna menyebutkan anak-anak sejak kecil telah dididik hidup sederhana dan tidak steril dari masyarakat. Mereka harus tahu denyut nadi dan keprihatinan hati masyarakat atau tetangga. Mereka tidak kapok sehari-hari ke sekolah naik Angkot, kendati anak sulungnya Muhammad Rumi harus menyerahkan uang karena ditodong oleh pisau atau Titi dua kali kehilangan handphone di Angkot
Temukan ‘Makanan Jiwa’
Tamat sebagai lulusan terbaik IPB Bogor Mei 1982, Ratna tidak tahu kemana akan bekerja selanjutnya. Dia masih belum menemukan talenta atau kesenangan hati yang sesungguhnya. Tawaran atau kesempatan bekerja apa pun jika ada pasti akan diterima tanpa perlu proses seleksi dan pemikiran panjang.
Sama persis seperti ketika menjadi mahasiswa jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga (GMSK), Fakultas Pertanian, IPB Bogor di tahun 1978, Ratna dengan mudah masuk menjadi tenaga pengajar di jurusan dan fakultas yang sama di almamaternya itu tahun 1982. Ratna memang amat sangat pragmatis. Tidak terlalu bercita-cita mau menjadi apa. Hidup dijalani begitu saja.
Hingga tiba waktunya, pada tahun 1986, Ratna berkesempatan melanjutkan pendidikan S-2 untuk belajar gizi di School of Nutrition, Tufts University, Medford, Massachussets, AS. Ia memperoleh beasiswa dari Ford Foundation untuk tahun pertama, dan dari World Bank untuk tahun kedua. Ratna berangkat tahun 1986. Selama setahun penuh ia tinggal sendirian di negeri Paman Sam sebelum suaminya bisa datang menyusul kemudian, juga untuk kuliah S-2. Sofyan Djalil akhinya berhasil memperoleh beasiswa kuliah S-2 di perguruan tinggi sama, Tufts University dari kantornya bekerja.
Di School of Nutrition, Ratna merasakan hidup masih biasa-biasa saja. Kuliah sepertinya sekedar menjalankan kewajiban tanpa tahu harus ke mana. Pokoknya dapat sekolah ya sekolah saja. Ratna lulus dan meraih gelar S-2 Master of Science (M.Sc) tahun 1988. Pada saat itu Sofyan Djalil baru setahun menjalani kuliah S-2. Ratna harus menunggu akhir kuliah suami sampai selesai setahun lagi.
Sambil menunggu, Ratna yang ketika lulus S-2 disarankan untuk meneruskan kuliah ke program doktor itu memperoleh dorongan dari mantan dekannya untuk mengajukan “beasiswa” dalam bentuk lain. Yakni, Ratna tidak perlu membayar uang kuliah namun dikasih pekerjaan sebagai tenaga research asisstant. Tahun 1988 Ratna mulai kuliah S-3 sambil bekerja sebagai tenaga riset. Tahun 1990 ia melahirkan anak kedua, Safitri Mutia dan tahun 1991 lulus sebagai doktor bergelar Ph.D dalam bidang International Food and Nutrition Policy.
Ketika Ratna lulus S-3, Sofyan Djalil justru baru setahun memasuki kuliah S-3. Sofyan mengambil S-3 sebab ketika lulus master of arts (MA) bidang studi Public Policy tahun 1989 Ratna masih sedang mengambil S-3. Saat menunggu Ratna menyelesaikan kuliah S-3, Sofyan mengajukan proposal baru ke kantor pusat tempatnya bekerja di Jakarta, agar bisa memperoleh beasiswa baru untuk S-3. Proposal itu disetujui. Sofyan mengambil bidang International Financial and Capital Market Law and Policy.
Dengan demikian, ketika Ratna sudah menyelesaikan Ph.D tahun 199,1 Sofyan Djalil baru setahun kuliah S-3. Ratna kemudian harus menunggu lagi sebab sudah dengan dua orang anak rasanya berat dan enggan berpisah dengan suami. Seorang profesor, dosen Ratna, kemudian menawarkan Ratna masuk post doctoral program.
Sebagai kesempatan baru tawaran itu segera saja diambil. Walau, belajar tentang anak, keluarga, proyek keluarga, dan child development adalah suatu hal baru bagi Ratna. Ratna mau ambil sebab hanya disiplin ini yang memiliki dana beasiswa di tingkat post doctoral program. Di post doctoral program, Ratna harus melupakan ilmu bidang Gizi Makanan dan Sumberdaya Keluarga (GMSK) keahlian dan kepakaran Ratna semenjak S-1 hingga S-3.
Uniknya, momentum post doctoral program justru menjadi titik picu awal, cikal bakal, kiprah kepeloporan Ratna Megawangi sebagai penggagas pendidikan holistik berbasis karakter. Ratna berhasil menemukan jati diri, kesenangan, talenta, visi kehidupan, dan hakekat idealismenya yang sesungguhnya pada fenomena anak dan keluarga.
Di post doctoral program antara 1991-1993, Ratna menjalankan tugas sebagai independent research. Ia mengadakan sejumlah riset tentang keluarga dan perkembangan anak di berbagai negara. Ratna mulai menyadari bakat dan kesenangannya ada di bidang humaniora yang multi disiplin ilmu yang menggabungkan beragam ilmu seperti ilmu sosial, sosiologi, psikologi, budaya, hingga filsafat. Atau secara spesifik ilmu tentang anak, keluarga, perkembangan anak, pengasuhan anak, pendidikan anak, kultur keluarga, atau segala hal terkait anak dan keluarga. Ratna segera mencintai bidang ini dengan penuh semangat baru yang luar biasa sekali.
“Nah, sewaktu saya melakukan post doctoral program, saya merasa inilah yang rasanya menyentuh bukan saja intelectual academic saya. Tetapi juga menyentuh hati saya, jiwa saya, begitu,” kata Ratna. Gizi, kata Ratna, adalah food for the phyisical body, sedangkan masalah-masalah pendidikan anak dan keluarga menurutnya merupakan food for the soul. “Keduanya sama saja, makanan juga. Bedanya yang satu makanan tubuh satu lagi makanan jiwa,” jelas Ratna berkata mantap.
Ratna mengamati fenomena atau persoalan anak dan keluarga telah dianggap sebagian besar masyarakat sebagai bagian kehidupan sehari-hari yang biasa-biasa saja. Bahkan sudah dianggap sebagai taken for granted yang tidak terlalu penting untuk dirasakan. Namun setelah Ratna mempelajari anak dan keluarga sebagai teori ternyata persoalannya luar biasa menarik sekali. Di dalamnya terdapat unsur spiritual, masalah komitmen, dan beragam masalah lain.
Ratna lalu memutuskan masalah anak dan keluarga menjadi bidang yang akan dikembangkan setibanya di Indonesia. Tahun 1993, Ratna menyelesaikan post doctoral program dan menjadikan manuskrip hasil penelitiannya bersama profesornya Prof. Marian Zeitlin, terbit sebagai buku berjudul “Strengthening The Family: Implications for International Development”, oleh United University Press, Tokyo, tahun 1995.
Menemukan kesenangan baru, Ratna bersedia segera pulang lebih awal ke Indonesia Januari 1993. Padahal Sofyan Djalil masih menulis disertasi untuk menyelesaikan S-3. Mereka berpisah enam bulan sebab baru pada Juni 1993, Sofyan bisa kembali.
Tiba di Indonesia dan kembali ke IPB Bogor, Ratna menemukan sudah banyak sekali kawan-kawannya yang ahli Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Setahun pertama kepulangannya, Ratna masih mengajar mata kuliah food economics and nutrition planning. Tapi hatinya sungguh-sungguh sudah tak lagi di situ. Ratna mengetahui bidang keluarga masih baru berkembang itu pun lambat dan kecil jumlahnya.
Ke fakultasya, Ratna mengajukan permohonan untuk membuka mata kuliah wajib baru Pengantar Teori Keluarga. Ratna berpendapat institusi keluarga harus diberikan secara teori kepada setiap mahasiswa jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Sebab di jurusan itu ada unsur paradigma politik dan filsafat. Ratna harus mengajarkan teori marxisme, komunisme, sejumlah teori-teori yang bersifat fungsional dan semua teori tentang pro dan kontra dalam keluarga supaya mahasiswa memiliki bekal dari segi paradigma.
“Jadi, bisa berpikir dalam konteks paradigma,” kata Ratna. Tak berhenti di situ. Ratna mengambil-alih mata kuliah Teori Keluarga Lanjut untuk setiap mahasiswa program S-2, kemudian membuka matakuliah baru Individu, Keluarga dan Masyarakat untuk mahasiswa S-3.
Membangung Bangsa Berkarakter
Selain menempuh pendidikan tinggi di negeri Paman Sam, Amerika Serikat, Ratna Megawangi bersama suami Sofyan Djalil mengalami kontemplasi hidup yang intens. Secara khusus mereka berdua pernah berkenalan dengan sejumlah aliran dalam sufisme. Sejumlah ilmu, teori dan filsafat kehidupan sudah cukup dimengerti dan melekat erat dalam diri mereka berdua.
Sejak tahun 2000, Ratna dan Sofyan sepakat berbuat sesuatu yang konkrit bagi bangsa yakni membangun bangsa berkarakter. Mereka memberanikan diri membangun Indonesia Heritage Foundation atau Yayasan Warisan Luhur Indonesia dengan modal nekat. Yayasan berhasil merekrut 12 orang mahasiswa terbaik IPB Bogor sebagai pengerja awal. Yayasan didirikan nekat sebab hanya dengan kapital kecil Rp 75 juta, hasil tabungan yang memang dipersiapkan untuk tujuan ini. Dengan seed money yang kecil tersebut, ternyata telah berhasil menarik beberapa donatur untuk mendukung program yayasan dalam mewujudkan visi yayasan “Membangung Bangsa Berkarakter”.
Terdapat sembilan pilar karakter nilai-nilai luhur universal yang ditanamkan kepada anak sejak dini usia prasekolah. Pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaaan-Nya; Kedua, kemandirian dan tanggungjawab; Ketiga, kejujuran/amanah, diplomatis; Keempat, hormat dan santun; Kelima, dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama; Keenam, percaya diri dan pekerja keras; Ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; Kedelapan, baik dan rendah hati, dan; Kesembilan, karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan.
Kesembilan pilar karakter diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan holistik menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good. Knowing the good bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat kognitif saja. Setelah knowing the good harus ditumbuhkan feeling loving the good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan menjadi engine yang selalu bekerja membuat orang mau selalu berbuat sesuatu kebaikan. Orang mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku kebajikan itu. Setelah terbiasa melakukan kebajikan acting the good berubah menjadi kebiasaan.
Setiap anak untuk tiba pada perilaku berkarakater kuat membutuhkan proses luar biasa sulit. “Nah, walaupun kita nggak ada feeling, ya, tapi kalau orang sudah terbiasa berbuat baik, sekali dia berbuat tidak baik sudah tidak enak. Jadi, kebiasaan itu menimbulkan suatu nurani yang rasa tidak enak, dia rasa malu,” kata Ratna.
Tahun 2001 pendidikan holistik berbasis karakter mulai diujicoba. Pada tahun 2003 dilakukan evaluasi internal, monitoring, perbaikan dan segala macam. Termasuk meneliti sekitar 600 anak didik yang dilakukan oleh sejumlah mahasiswa IPB. Mereka meneliti dampak pendidikan holistik berbasis sembilan karakter terhadap perilaku keseharian anak. Hasilnya ternyata luar biasa.
“Nah, tahun 2003, alhamdulilah hasil penelitian yang kami lakukan itu teryata promising. Jadi, anak-anak yang ikut program kami namanya: Semai Benih Bangsa atau SBB, dengan yang tidak atau yang masuk TK biasa, itu secara statistik signifikan lebih bagus karakternya yang sembilan pilar itu, dibandingkan dengan yang TK yang biasa,” kata Ratna. Tahun 2004 alumni lembaga sekolah yang diberi nama Institut Pengembangan Pendidikan Karakter sudah duduk di bangku SD kelas empat.
Ratna mendedikasikan diri sepenuhnya pada Yayasan. Sedangkan Sofyan Djalil sehari-hari bergiat sebagai profesional murni untuk mencukupi kebutuhan keluarga, mendirikan sekaligus menjadi managing partner sebuah perusahaan konsultan Sofyan Djalil and Partner (SDP). Ratna praktis berpenghasilan nol. Gaji bulanannya sebagai dosen di IPB tak pernah diambil. Sebab mengajar hanya satu dua kali seminggu dirasanya tak pantas menerima gaji. Itu lebih baik dia sumbangkan saja.
Ratna Megawangi yang berintegritas tinggi dan independen dalam bersikap, dalam sisi-sisi tertentu merasakan ada ketergantungan yang amat sangat terhadap suaminya, seperti secara emosional dan finansial. Namun ke mana-mana Ratna tak pernah membawa-bawa nama Sofyan Djalil. Baik sebelum apalagi setelah menjadi Menteri Komunikasi dan Informasi Kabinet Indonesia Bersatu.
Termasuk, selama ini Ratna tak pernah mencantumkan nama Sofyan atau Djalil atau Sofyan Djalil dalam nama lengkapnya, kecuali “Dr. Ir. Ratna Megawangi, M.Sc” saja. Ratna mengungkapkan sebuah tabir, ia malah tak banyak dikenal orang sebagai istri Sofyan Djalil. Sofyan sendiri telah meminta Ratna agar sebagai istri menteri tak perlu terlalu involved dalam keseharian kegiatan Ibu Dharma Wanita.
“Bahkan, suami saya juga bilang bahwa kamu adalah kamu. Ya, artinya kamu adalah Ratna Megawangi yang nggak ada embel-embelnya dengan Menteri Komunikasi ini. Kamu sudah dibangun dari awal begitu,” kata Ratna, yang tak akan mengubah diri hanya karena bersuamikan seorang menteri.
Ratna pun menggariskan akan menerapkan cost of benefit analisys dalam setiap pilihan pengambilan keputusan antara memosisikan diri sebagai istri menteri atau sebagai seorang pribadi Ratna Megawangi yang Direktur Eksekutif Yayasan Warisan Luhur Indonesia. Mana yang paling menguntungkan saja.
Misalnya jika pada waktu bersamaan, Ratna harus memilih antara mendampingi suami mengikuti acara jamuan makan kenegaraan, atau memberikan ceramah dan pelatihan kepada para guru pendidikan holistik berbasis karakter. Berdasarkan cst of benefit analisys, Ratna pasti akan memilih yang terakhir.
Karena guru-guru adalah corong dan ujung tombak di kelas. Kalau guru-guru sadar semua anak-anak akan berkarakter bagus. “Banyak guru-guru yang menangis setelah kita berikan pelatihan bagaimana memberikan pendidikan karakter secara holistik kepada anak. ‘Oh ternyata begitu, apa yang kami ajarkan selama puluhan tahun ini selalu dipersalahkan,” kata Ratna, mengutip komentar para guru yang baru melek mata setelah melihat betapa pentingnya menanamkan karakter pada anak didik sejak dini.
Ratna yang sedari kecil dididik mandiri, pekerja keras, hemat, berdisiplin tinggi, ketika dewasa tetap menjadi seorang wanita yang juga mandiri, independen, kritis, pekerja keras, toleran, dan berintelektual tinggi.
Perempuan yang selalu mengenakan busana muslimah ini adalah salah satu penerima penghargaan “80 Tokoh Wanita Muslim Paling Terkemuka Indonesia”, yang profilnya pernah dibukukan dalam “Profil Tokoh Wanita Muslim Indonesia,” tahun 2002. Tampil selalu berbusana muslimah, namun visi toleransi Ratna Megawangi begitu tinggi.
Ratna Megawangi bukan hanya tiga setengah tahun sudah menjadi kontributor tetap mengisi kolom “Titik Pandang”, tiap hari kamis di harian sore “Suara Pembaruan”, atau sebelumnya aktif menulis di harian “Kompas”.
Ratna Megawangi dalam buku terbarunya “Pendidikan Karakter Solusi yang Tepat untuk Membangun Bangsa”, terbit Juli 2004, tak merasa enggan mengutip beberapa ayat firman Tuhan dari Alkitab Perjanjian Baru, seperti kitab Lukas sebagai referensi. Sedangkan kitab suci tak dapat dibatalkan, firman Tuhan itu ya dan amin alpha dan omega. Ratna juga penulis tetap di tabloid MQ milik KH Abdullah Gymnastiar atau Aa Gym. Semuanya menggagas tentang pendidikan anak dan moral.
Kekritisan Ratna Megawangi tak luntur sedikitpun walau suaminya masuk ke dalam birokrasi pemerintah. Persoalan pajak adalah sekelumit saja sikap kritis yang diungkapkannya. Ratna Megawangi yang pada Pemilu Legislatif mengaku tidak memilih alias golput, sedangkan pada Pemilu Presiden memilih pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla. Pilihan itu dipastikannya didasarkan bukan karena suaminya anggota Tim Sukses SBY-JK.
Ratna mengkritisi kecenderungan pemerintah menggenjot pendapatan pajak tinggi. Ratna lebih suka dengan pajak yang rendah. Sebab dengan pajak rendah investasi akan meningkat, saving meningkat, terbentuk akhlak yang bagus sebab orang rajin bekerja demi meraih pendapatan, dengan tingkat saving tinggi akan tinggi pula tingkat investasi sehingga terbuka banyak lapangan kerja, orang bekerja sangat industrious, perputaran ekonomi menjadi marak.
Sedangkan pajak tinggi pasti akan membuat orang malas bekerja sebab apa-apa pendapatan selalu dipajakin, pekerja merasa di-punished, tabungan menipis, lalu berdampak tidak ada investasi.
Demikian juga janji-janji pemerintah berikut tuntutan masyarakat yang menginginkan serba gratis. Biaya pendidikan gratis pelayanan kesehatan gratis, itu, kata Ratna membuat rakyat menjadi sangat tergantung kepada pemerintah, rakyat menjadi tidak mandiri. Pada sisi lain untuk memenuhi pelayanan gratis serta untuk memperbesar pendapatan pajak Pemerintahan harus dibuat besar. Pada Pemerintahan yang besar terbuka peluang untuk cari kekayaan dan cenderung korup. “Di mana-mana perilaku birokrasi pasti inheren, embeded dengan perilaku yang tidak efisien,” kata Ratna Megawangi. ►e-ti/ht-ms
(sumber >> TokohIndonesia DotCom / Ensiklopedi Tokoh Indonesia)