Oleh: Lita Mariana
Saya teringat ketika memberikan tugas beberapa hari yang lalu. Ada satu soal yang saya ragu-ragu menjawabnya. Tentang grafik, dan itu lebih ke persoalan matematika ketimbang teori kimia. Bagaimana, ya? Ngeles atau ngaku?
Pilihan
Selalu ada pilihan berbagai cara menanggapi ketika seorang guru tidak/belum tahu jawaban dari suatu pertanyaan. Katanya sih, yang paling penting, guru itu harus jago ngeles. Dan terus terang, saya tidak jago ngeles. Jadi kalau saya tidak tahu ya saya bilang saja jujur, saya tidak tahu dan berjanji akan mencari tahu (dan memberitahukan hasilnya di pertemuan selanjutnya).
Khusus untuk pekan ini, saya memutuskan untuk langsung belajar dari murid. Tentunya, harus sudah mengenyampingkan yang namanya ‘harga diri’, malu, segan, dan lain-lain. Murid saja saya anjurkan untuk banyak bertanya (walaupun tidak harus selalu saya yang menjawab, kebanyakan justru mereka sendiri yang menjawab), masa saya enggan bertanya?
Saya hampiri seseorang dan saya tanyakan padanya. “Untuk nomor yang ini, bagaimana caramu, nak?”. Lalu kami berdiskusi, mengerjakannya bersama. Betul-betul bersama, karena saya memosisikan diri sebagai yang sedang belajar, minta diajari ketimbang mengajari. Di akhirnya memang jawaban awal saya (yang saya simpan di hati saja) memang salah. Murid saya yang benar.
Saya puas, karena berhasil mengalahkan keengganan diri dan memilih untuk tidak ‘ngeles’. Murid juga puas, karena berhasil menjawab pertanyaan sekaligus membantu saya. Katanya, “Eh, kok jadi saya yang ngajarin Ms. Lita”. Saya tersenyum, “Memangnya kenapa? Tidak apa-apa, kan?”.
Taktis, bukan gegabah
Tentunya ada alasan kuat mengapa guru harus cerdas mengelak. Sebagai fasilitator, tak mungkin baginya untuk sering menjawab “Tidak tahu” terhadap berbagai pertanyaan murid. Apalagi murid SMA, yang egonya sedang tinggi-tingginya dan jiwa kompetitifnya sedang melambung.
Saya sadar kalau sebagian murid saya sangat senang jika dapat mendebat saya, walaupun mereka lebih sering kalah (hehehe…). Tak apa-apa. Semangat bersaing, berpikiran terbuka dan keingintahuannya yang meluap tidak baik jika dibendung. Arahkan saja mereka untuk bertanya dan mendebat dengan cara yang sopan, elegan dan cerdas mengena.
Yang perlu kita ingat, guru bukanlah dewa/dewi yang segala sempurna dan tidak perlu mempertahankan image sebagai dewa/dewi. Jadi jika memang tidak tahu, tak perlu mengarang jawaban ‘asal jawab’ hanya karena tidak tahu jawaban benarnya.
Dengan sisi kelemahan (yang kita jaga dan awasi dengan sepenuh kesadaran) guru yang tampak di mata murid, kita tampil sebagai manusia. Yang dapat ditiru dan layak digugu. Mereka dapat melihat bahwa menguasai ilmu yang kita ampu itu mungkin, dengan kekurangan yang dimiliki secara unik oleh mereka.
Dengan tampak sebagai manusia yang bercela (walau tidak berarti layak menjadi obyek celaan harian), mereka akan berkurang keseganannya terhadap guru. Mereka akan lebih bertenggang rasa, toleransi terhadap kemanusiawian guru. Dan kemudian akan memosisikan guru di tempat yang layak dan seharusnya: pendidik, fasilitator, orangtua. Bukan dewa (kimia, misalnya).
Kendali
Dan di atas semuanya, kita, sang gurulah yang harus pandai menempatkan diri dan membagi waktu. Kapan menampakkan cela, kapan menyembunyikannya. Kapan berbagi, kapan menahan diri. Kapan tertawa, kapan harus marah demi murid.
Hanya butuh untuk merendahkan diri sejenak ternyata hari itu. Murid senang dan percaya diri, saya juga senang dan senang melihat murid senang. Kami sama-sama senang di akhir pelajaran kimia hari itu.
p.s.
Terimakasih ya, nak. Jangan sampai sombong, ya. Kamu bisa melaju lebih cepat dan menggapai yang lebih tinggi kalau tidak cepat berpuas diri. Ayo semangat!
Sumber : Klik disini