Di Administrasi Pendidikan, Manajemen Sekolah, Pendidikan Dasar, Pendidikan Indonesia, Pendidikan Menengah, Penelitian Pendidikan dalam Februari 12, 2010 pada 1:47 am
Bagaimana perkembangan SBI (Sekolah Bertaraf Internasional) di Indonesia sekarang ya ? Lama saya tak mempelajari dan mengamatinya selain membaca-baca di koran dan di milis-milis, suara-suara pro dan kontra hilir mudik.
Semestinya sejak didengungkan di tahun 2003, dan mulai dilaksanakan sejak tahun 2005, RSBI sudah layak dievaluasi. Atau mungkin evaluasi sudah dikerjakan oleh Diknas atau lembaga non pemerintah, dan saya saja yang ketinggalan cerita
Kalau mau dirangkumkan beberapa pendapat yang pro menggunakan alasan sebagai berikut :
1. SBI harus dilaksanakan karena itu tuntutan UU SISDIKNAS 2003
2. SBI perlu karena sekolah-sekolah di Indonesia jauh tertinggal
3. SBI perlu diselenggarakan karena banyak (ada ?) siswa yang ingin lanjut ke perguruan tinggi di luar negeri
4. SBI perlu karena Indonesia harus sepadan dengan negara-negara di Astengg yang level sekolah-sekolahnya sudah internasional.
5. SBI membawa manfaat salah satunya, guru-guru menjadi sadar pentingnya memahami bahasa asing
6. ………
Silahkan tambahkan sendiri
Alasan yang kontra :
1. SBI tidak perlu karena menimbulkan elitisme baru dalam pendidikan
2. SBI tidak perlu karena menelan biaya besar, sementara masih banyak sekolah yang ambruk
3. SBI tidak bermanfaat karena yang terpenting adalah pemahaman materi belajar dan bukan mengajar dengan bahasa asing
4. SBI tidak perlu karena definisi kata “internasional” pada namanya tidak jelas
5. SBI tidak perlu karena sekolah reguler pun lulusannya banyak yang keluar negeri
6. SBI adalah bentuk penjajahan baru karena keharusan mengacu pada kurikulum institusi di negara maju
7. SBI adalah model baru privatisasi pendidikan, sebab 99% orang behave yang bisa menikmatinya.
Alasan pertama bahwa SBI harus diselenggarakan karena itu adalah tuntutan UU membawa kita pada pertanyaan baru, mengapa DPR menyetujui ini atau tepatnya mengapa hal seperti ini perlu dimasukkan dalam sebuah UU Sisdiknas?
Mengingat perubahan Fundamental Law di negara kita berlangsung per 30-20 tahunan (UU 1950, UU 1989, UU 2003), maka jika naga-naganya proyek SBI tak sukses, akan ada statement baru tentang penghapusannya di UU 2020-an, atau sebuah konsep baru sekolah unggul akan dimasukkan. Tetapi melihat perkembangan dunia begitu pesat, kelihatannya tidak harus menunggu 20 tahun untuk menilai ini laik atau tidaknya.
Saya cenderung pada kelompok yang kontra. Tetapi saya menyadari niat baik pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan. Saya mungkin kurang sepakat dengan pemerintah tentang definisi pendidikan bermutu jika pemerintah berkesimpulan bahwa SBI adalah model pendidikan unggulan bermutu.
Ciri-ciri SBI yang saya tangkap dari tiga buah sekolah yang saya kunjungi di Pulau Jawa adalah : gedung mewah, ruang kelas beraudio visual, laboratorium lengkap, lisensi dari Universitas A di luar negeri (bahkan ada yang memasangnya di dinding sekolah, mengingatkan saya pada perusahaan yang sudah mendapatkan ISO), kurikulum sebuah universitas di luar negeri, pelajaran dalam bahasa inggris, kunjungan (pertukaran budaya) siswa ke luar negeri, dan sister school.
Orang bijak memperkenalkan kata bijaksana, bahwa kesuksesan dapat diraih melalui peniruan (mane suru kata orang Jepang). Saya pikir SBI adalah upaya meniru yang dilakukan bangsa kita terhadap sistem persekolahan yang dianggapnya unggul yang ada di negara maju. Negara maju pun dibatasi hanya anggota OECD. Saya tertarik untuk mengkritisi konsep negara maju yang didefinisikan pemerintah dalam hal ini. Perlu diingat bahwa sebagian besar anggota OECD adalah negara yang terlibat dalam WW II sebagai penjajah dan mereka memperoleh kemajuan saat ini karena keuntungan yang didapatnya dari penjajahan. Jadi, untuk meniru dengan baik, negara kita perlu menjadi penjajah
Tetapi meniru banyak gayanya.Meniru 100%, meniru 50% atau meniru 10% nya saja. Entah meniru gaya yang mana yang dipilih untuk program SBI ini.
Karena setiap melakukan riset, seseorang harus mampu memahami definisi dengan baik, maka mari kita tinjau SBI dari segi definisinya terlebih dahulu. Sekolah Bertaraf Internasional memunculkan bentuk lain sebagai antitesis, yaitu Sekolah Bertaraf Nasional, dan selanjutnya jika kata “bertaraf” disepadankan dengan tingkatan (wilayah), maka akan ada Sekolah Bertaraf Daerah yang masih boleh dipersempit lagi dengan sekolah bertaraf lebih rendah.
Masyarakat kita sering menyematkan istilah sekolah kampung pada sekolah yang ada di perkampungan. Misalnya teman yang menyekolahkan anaknya di pinggiran Jakarta, mengatakan : “si kecil saya sekolahkan di sekolah kampung”.Yang dia maksud dengan sekolah kampung adalah SD negeri yang ada di pinggiran kota. Tetapi saya belum pernah mendengar orang mengatakan istilah sekolah kota sebagai antitesis sekolah kampung.
Dulu pernah ada eranya ketika masyarakat ramai menggunakan istilah plus. Semua sekolah terutama sekolah swasta ramai-ramai menambahkan embel-embelan plus jika sekolah tersebut menambahkan misalnya mata pelajaran lain di luar kurikulum, atau fasilitas lain di luar fasilitas sekolah pada umumnya. Menurut riset yang saya kerjakan istilah ini muncul di tahun 70-an, tepatnya ketika pemerintah menghapuskan semua bentuk SMP Kejuruan dan mengubahnya menjadi SMP. Kata “plus” ditambahkan sebab sekolah ini dilengkapi dengan pelajaran kejuruan, sehingga nomenklaturnya menjadi SMP Plus (lih. Djoyonegoro 1996, 50 th Pembangunan Pendidikan Indonesia).
Berdasarkan PP 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dikenal pula istilah Sekolah Standar dan Sekolah Mandiri.Dalam penjelasan ps 11 ayat 2 dan 3 disebutkan sebagai berikut :
Pemerintah mengkategorikan sekolah/ madrasah yang telah memenuhi atau hampir memenuhi Standar Nasional Pendidikan ke dalam kategori mandiri, dan sekolah/ madrasah yang belum memenuhi Standar Nasional Pendidikan ke dalam kategori standar.
Kata “hampir memenuhi” adalah pernyataan yang tidak jelas. Apakah 60%, 70%,80% atau 99% memenuhi. Mengapa pemerintah menggunakan istilah mandiri untuk sekolah yang sudah memenuhi standar? Mengapa tidak menggunakan istilah Sekolah Berstandar untuk kategori ini ? Dan mengapa sekolah yang belum memenuhi standar nasional disebut berkategori standar?
Kata “mandiri” biasanya digunakan untuk menyatakan kondisi ketidaktergantungan.Oleh karena itu sekolah berkategori mandiri adalah sekolah yang tidak tergantung kepada pemerintah atau tidak memerlukan lagi biaya dari pemerintah karena bisa membiayai dirinya sendiri. Tetapi jangan lupa, sekolah bukan perusahaan yang bisa mendatangkan profit. Memutus kebergantungannya kepada pemerintah sama artinya dengan memindahkan ketergantungan tersebut kepada pihak ketiga, dan siapa lagi itu kalau bukan masyarakat/orang tua.
Istilah “standar” sering dipakai oleh kawula muda ketika menilai penampakan luar lawan jenisnya. “Bagaimana cewek itu ?”, pertanyaan seperti ini bisa dijawab : “Ah, standar !” Artinya dia biasa saja, sama dengan cewek-cewek kebanyakan. Tidak minus, tetapi juga tidak plus. Jadi, sekolah berkategori standar adalah sekolah yang biasa-biasa saja
Lalu, kembali kepada istilah internasional pada penamaan SBI. Mengapa internasional ? Harapannya barangkali dengan istilah ini, sekolah tersebut dapat diterima oleh dunia dan diakui sebagai tempat belajar yang memenuhi syarat bagi siswa-siswa asing yang ingin bersekolah di Indonesia. Tetapi apakah perlu seperti itu ? Jika siswa asing ingin bersekolah di luar negaranya, maka adalah lumrah dia harus mengikuti pola dan sistem negara bersangkutan. Jadi, mungkin saya salah dengan pemikiran ini, yaitu SBI untuk mengundang siswa asing.
Atau seperti alasan pemerintah, bahwa SBI akan mencetak lulusan yang dipersiapkan untuk menembus universitas di negara maju.Tetapi bukankah sekolah biasa pun banyak yang bisa menghasilkan lulusan yang bisa tembus universitas luar tanpa harus mengikuti kelas internasional ?
Melihat program-program dan ciri SBI yang ada, tampaknya istilah internasional sama dengan istilah eksekutif pada tiket pesawat, kereta, dan bis
Lalu, pertanyaannya sekarang, setelah sebuah sekolah digelari SBI, selanjutnya apa lagi gelar yang berhak disandang sekolah tersebut, jika suatu saat nanti sekolah tersebut telah melewati standar internasional.
Banyak model persekolahan yang dikutip dari sana sini kemudian disampaikan sebagai sebuah kebijakan yang mesti diterapkan di negara kita. Tetapi, sayangnya banyak yang tidak menyentuh basis permasalahannya.
Saya membaca referensi bahwa di awal-awal kemerdekaan dibetuk Panitia Penyelidikan Pendidikan pada tahun 1946 (1947) yang bertugas untuk mengidentifikasi permasalahan pendidikan. Saya pikir tim seperti itu perlu dibentuk untuk mendata permasalahan pendidikan di Indonesia. Tetapi tim tersebut jangan cuma melaporkan : guru kurang professional, fasilitas sekolah kurang memadai, kurikulum terlalu gemuk, manajemen sekolah korup, dll, sebab hal-hal seperti itu orang awam pun mengetahuinya. Tim perlu menampilkan data yang akurat yang bisa dianalisis, sehingga dapat menghasilkan pemecahan yang baik.
Dan tentu saja, tidak ada yang lebih penting daripada semuanya selain, moral pelakunya. Moral sangat bermain dalam kecantikan dan ketepatan kebijakan yang akan dihasilkan untuk membangun pendidikan di bumi pertiwi.
Oleh : murniramli.wordpress.com
Selasa, 30 Maret 2010
You at here : Home »
Setelah SBI, lalu apa ?
Setelah SBI, lalu apa ?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)