Di Pendidikan Indonesia, Pendidikan Jepang, Penelitian Pendidikan, Renungan, SD di Jepang, Serba-Serbi Jepang dalam Juni 15, 2008 pada 5:30 am
Sudah hampir 5 bulan kegiatan SD Bhinneka berjalan. Tidak terasa. Barangkali karena kami sibuk, sehingga tidak terasa bahwa saya dan teman-teman sedang mengelola sebuah sekolah kecil
Saya tidak pernah menghitung berapa murid kami, tapi saya hanya senang meraka rajin datang ke sekolah. Karena sedikit jumlahnya, tentu saja saya hafal nama-nama mereka sekalipun mereka tidak tahu saya adalah kepala sekolah. Fira chan sampai berteriak : Ee, Kouchou sensei na no ? (= Hah, kepala sekolah ???) sewaktu ibunya memberitahu. Ah, saya memang tidak mirip kepala sekolah, dan ini lebih baik. Mereka lebih kenal saya sebagai guru. Tapi belakangan, Fira chan mulai memanggil saya Koucho sensei, padahal sebelumnya dia dan teman-temannya memanggil : Tante Murni, karena saya memang teman ibu-ibu mereka. Dipanggil yang mana saja, tidak ada masalah, karena saya pasti menengok
Kemarin, setelah hampir 6 bulan berjalan kami mengadakan Rapat Guru untuk mengevaluasi apa yang sudah kami kerjakan. Setiap guru kelas menyampaikan laporan berupa materi, cara mengajar, kendala, usulan perbaikan. Mendengarkan Ibu guru yang sekaligus sebagian adalah orang tua murid berbicara membuat saya termenung, sebab apa yang mereka suarakan adalah suara murni seorang pengajar, dan sekaligus barangkali berbaur dengan suara orang tua yang menginginkan pendidikan yang terbaik bagi anak-anaknya.
Anak-anak kami adalah anak-anak yang sebenarnya sangat berat menghadapi kenyataan bahwa mereka harus hidup dan berkembang dalam budaya yang berbeda dengan budaya ibunya. Lalu kami ’sedikit memaksa’ mereka untuk memahami dan mampu menggunakan bahasa ibunya, Bahasa Indonesia dengan baik. Sebagian anak tidak mengerti dengan apa yang kami jelaskan dalam Bahasa Indonesia, padahal apa yang kami jelaskan adalah materi kelas SD di Indonesia yang sama dengan tingkatan mereka.
Bahasa Indonesia yang dipergunakan dalam buku-buku pelajaran yang kami datangkan dari Indonesia, sungguh sulit bagi anak-anak kami. Mereka yang terbiasa dengan penjelasan mudah dari guru-guru di sekolah Jepangnya hanya berteriak `wakannai` (ngga tahu) sewaktu kami mulai menjelaskan materi IPA dan IPS.
Hampir semua anak menyenangi sains dan matematika, karena tidak perlu banyak kata. Sains digemari karena selalu berkaitan dengan eksperimen yang pernah diajarkan di sekolah dan kehidupan nyata sehari-hari barangkali. Math disukai karena semua anak suka berkompetisi dalam berhitung
Tapi anak-anak mulai kewalahan ketika kami membuat soal-soal math dalam bentuk soal cerita, dan menjelaskan IPA atau IPS dengan bahasa yang sulit.
Suasana sekolah kami tidak seperti sekolah Indonesia yang sunyi senyap dengan anak-anak yang tertunduk, tekun mengerjakan dan mencatat. Anak-anak kami senang bercanda dan sangat merasa terpaksa dengan tugas mencatat. Mereka lebih suka mendengar dan mengomentari.
Barangkali kuno, tapi saya menganut konsep belajar yang diajarkan dalam kitab Ta’limul Muta’allim di pesantren dulu. Bahwa ilmu itu tidak bermakna apa-apa jika hanya dibaca, didengarkan, dibicarakan, tanpa ditulis. Tetapi ditulis tanpa dipahami juga tidak bermakna apa-apa. Maka kadang-kadang saya agak sedikit memaksa mereka dengan perintah : tulis !
Karena beragamnya anak di setiap kelas, maka tugas guru menjadi sangat berat. Sebenarnya tidak berat jika kami sekedar menerangkan. Tetapi karena kami ingin semua anak medapatkan pengajaran dan pemahaman yang paling tidak sama, maka tugas itu menjadi berat. Prinsip mengajar di sekolah kami adalah pelajaran diberikan dengan materi yang sama kepada semua anak, dan bagi anak yang berkemampuan lebih, guru akan memberinya drill lebih daripada teman-temannya.
Sekarang bagaimana dengan kemampuan berbahasa yang kelihatannya tidak mengalami kemajuan ? Kami akhirnya bersepakat untuk memberikan PR menghafal kosa kata dengan asumsi bahwa pembelajar bahasa tidak akan bisa bicara/menulis apabila dia tidak memiliki kekayaan kosa kata.
Karena tujuan awal dari sekolah kami adalah agar anak-anak tidak lupa dengan bahasa ibunya, sekaligus mencoba memberikan suasana belajar seperti di Indonesia berupa materi pelajaran yang sama dengan teman-temannya di Indonesia, maka kami sepakat memperbaiki materi mengajar.
Jam Bahasa Indonesia kami sepakati untuk menekankan dan melatih kemampuan tata bahasa dan menulis. Jam IPA dan IPS kami gunakan untuk memperdalam Bahasa Indonesia dengan tema sains dan sosial dengan penekanan membaca, mendengar, memahami dan berbicara/berpendapat. Pelajaran matematika adalah untuk memahami ‘angka dan perhitungan’ dalam tema belajar bahasa. Mengajari mereka berhitung tidak ada gunanya, karena guru-guru matematika di sekolah Jepang lebih jago daripada kami.
Begitulah. Saya dan barangkali ibu guru yang lain mulai mengerjakan ini dengan tenaga, hati dan pikiran kami. Yang semula kami anggap hanya sekolah-sekolahan akhirnya menuntut kami untuk lebih serius. Bukan saja karena mereka membayar SPP (btw, SPP bulan depan akan diturunkan..horeee!!!), tapi saya pikir saya bersemangat karena mereka (siswa dan orang tua) pun bersemangat.
Semangat ini ditunjukkan dengan kesetiaan orang tua mengantar anak-anaknya setiap Sabtu. Jika anak-anak asyik belajar di lantai 2 di gedung yang kami pinjam, maka orang tua lebih ramai lagi berdiskusi di lantai 1. Ya, walaupun hanya sekali seminggu, semoga SD kami menjadi jembatan penghubung tali silaturahmi antara kami, orang Indonesia di negeri orang.
Pekan depan kami akan mulai menjajaki kegiatan eskul angklung dan IQRO/baca Al-Quran. Anak-anak mungkin lebih suka bermain game atau berlarian-larian seusai jam sekolah, tapi kami, orang tua/orang dewasa, sekali lagi mengharapkan mereka mendapat ilmu sebanyak-banyaknya di masa mereka muda. Jadi, kami lagi-lagi akan ‘memaksa’ mereka untuk berhenti berlari dan bermain game, dan mulai menekuni satu bahasa baru lagi, bahasa Arab/bahasa Al-Quran.
Jangan protes, Nak. Barangkali karena kami sudah lebih banyak makan garam, Nak. Jadi kami sedikit lebih tahu daripadamu tentang apa yang baik dan apa yang buruk. Jadi, ayo belajar bersama !
Menjadi guru untuk anak-anak yang seaktif mereka memang tidak gampang, tetapi sungguh menyenangkan ketika setiap hari kami menemukan hal-hal baru di antara murid-murid kami. Saya berterima kasih kepada mereka karena mengajarkan hal baru itu. Saya pikir ini adalah sumber penyemangat yang terus mendorong kami untuk mengajar, sekalipun tugas studi di kampus terus saja memberati setiap hari langkah kami. Ucapan terima kasih dari orang tua terkadang membawa keharuan tersendiri, tapi kehadiran beliau-beliau adalah ucapan terima kasih yang terbesar bagi saya pribadi.
Panjang harapan dan doa kami, semoga guru, murid, orang tua senantiasa selalu dilindungi dan diberi kekuatan dan semangat untuk menjadi orang yang lebih alim dan bertakwa.
Oleh : murniramli.wordpress.com
Selasa, 30 Maret 2010
You at here : Home »
Menjadi Guru tidak gampang, tapi menyenangkan
Menjadi Guru tidak gampang, tapi menyenangkan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)